Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #21

Bab 20 - Camp De Javu

"Can anything be stupider than that a man has the right to kill me, because he lives on the other side of a river and his ruler has a quarrel with mine, though i have not quarrelled with him?"

(Blaise Pascal)


Matahari telah cukup tinggi. Kali ini sinar hangat lebih bisa dirasakan kulit. Ambar dan Risma dibawa ke sebuah sabana yang cukup lapang. Ibaratnya pagar alami, tempat itu diitari oleh pohon-pohon heterogen yang tinggi menjulang. Dari kondisi tanah yang agak landai, bisa dipastikan tempat itu berada di tepian lereng perbukitan.

Ada dua tenda besar di sana. Tepat di tengah kedua tenda tersebut, terdapat sebuah api unggun dengan dua palang untuk menggantung ketel besar.

Dua orang sedang bercengkerama sambil memasak. Senapan CV-47 asal Rusia, dibawa mereka, selain tentunya cedok dari batok kelapa untuk mengaduk nasi liwet.

Hampir semua orang yang ada di sana menenteng senapan CV-47. CV-47, atau biasa di sebut AK-47, asalnya merupakan senapan serbu yang dirancang oleh Michael Kalashnikov, untuk pabrikan Rusia pada Perang Dunia II. Pada perkembangannya, desain senapan dengan peluru berkaliber 7,62 x 39 mm ini disebarkan ke hampir 55 angkatan bersenjata dunia. Namun, justru AK-47 lebih identik dengan senapan kaum pemberontak. Hampir semua pemberontakan di Afrika, Nikaragua, Viet-Cong, sampai Hizbullah mengenal senapan jenis ini. hal itu karena AK-47 adalah senapan yang sederhana, tidak mahal untuk diproduksi, dan mudah dibersihkan dan dirawat. Ketahanan dan kehandalannya terkenal legendaris. Piston gasnya yang besar, keleluasaan jarak pada bagian-bagian mekaniknya, dan desain pelurunya, membuat AK-47 bisa tetap menembak dengan lancar walaupun komponen dalamnya terisi kotoran atau benda asing. Hanya saja, kehandalan ini sedikit mengorbankan akurasi, karena toleransi yang besar pada bagian mekaniknya tidak menjamin ketepatan dan kekonsistenan yang terdapat pada senapan-senapan yang lebih akurat.

Ambar dipapah menuju tenda sebelah kanan. Dia didudukkan di antara banyak perbekalan perang. Belasan granat nanas berserakan di tanah. Dua pelontar SPG1 bertuliskan Bahasa Indonesia diberdirikan di sisi tenda. Ada pula buku-buku manual tentang perakitan bom dan dasar-dasar bela diri. Sementara itu, Ambar langsung menerima perawatan dari para prajurit yang sepertinya ditugaskan sebagai ahli medik.

Risma berusaha menahan tubuhnya dari gemetaran karena takut. Perempuan satu-satunya di kamp itu berusaha ditenangkan oleh pimpinan geriliyawan. Pimpinan itu mudah sekali dikenali di antara anggota pemberontak lain yang berwajah melayu. Dia mengenalkan diri sebagai Halim Bonsapia. Mantan anggota Operasi Papua Merdeka, yang kini menjadi berjuang di tanah rencong sebagai prajurit GAM.

“Panggil saja Bang Lim. Atau kamu bisa panggil beta, Ayah Papua,” ujarnya dengan kedua tangan di depan dada, memberi salam.

“Tenang saja, kekasihmu tidak apa-apa. Dia beruntung punya daya tahan tubuh yang kuat. Sehingga, bisa kalajengking itu bisa cepat ditangkal,” jelas sang komandan.

Sikap sopannya disertai senyuman, jauh dari kesan sangar di film-film Holywood, yang selalu mengecap pemberontak sebagai teroris.

“Dia bukan kekasih saya. Dia menolong saya kabur dari Pucuk Inong. Dia anggota TNI.” Risma berbicara masih kagok dan terbata-bata.

“Ya, kami tahu itu. Berita pria ini telah mengisi hampir semua tayangan radio dan televisi. Informan kami sudah mengabarkan itu.”

Risma tetap menunduk demi menjaga hijabnya, “apakah bapak... eh Bang Lim akan membunuhnya?”

“Tentu saja tidak. Namun, kami perlu menanyainya beberapa hal. Semoga dia cepat siuman.”

Belum lama, Bang Lim berkata demikian, pria yang dibicarakan membuka matanya dan berusaha bangkit.

“Tidak usah takut. Kami tidak menyakiti tawanan. Kalian sekarang tamu kami,” jelas komandan yang dipanggil Ayah Papua oleh para pengikutnya ini.

Setelah itu, Ambar berangsung-angsur membaik. Seiring dengan itu, percakapan mereka menjadi lebih akrab. Walaupun masih ada kesan keraguan di hati mereka masing-masing. Namun, dari percakapan itu terbuka jika cara pengobatan tradisional terhadap Ambar adalah warisan pengetahuan dari mantan panglima GAM tersohor di zamannya, Abdul Hakim.

Ya, Abdul Hakim, adalah ayah kandung dari Risma Rismelati, perempuan yang kini berhadapan dengan Halim Bonsapia. Pria Papua yang menolong pasangan itu adalah anak buah yang terluka dan ditolong langsung Abdul Hakim, ayah Risma.

“Dulu, beta pernah terkena bisa ular. Dan Ayahmu menolong beta dengan hanya menggunakan segenggam asam yang diberi doa.” Kata Bang Lim, dengan mimik masih tidak percaya bahwa gadis yang dia tawan adalah anak dari mantan atasannya. “Oleh karena itu, beta masuk Islam. Beta pula mengamalkan tata cara pengobatan itu. Seperti telah kau alami, yang beta obati hanya dengan campuran lada dan minyak kelapa saja. namun, tentu semua itu hanya atas izin Allah semata.”

“Tapi, bagaimana kisahnya Anda jadi milisi GAM?” tanya Ambar, namun tetap berhati-hati tidak menyinggung lawan bicaranya. Di lain sisi, senapan miliknya masih disimpan anak buah Bang Lim. Walaupun banyak senjata di tenda itu, tidak ada sedikit pikiran untuk berontak dari kamp itu.

“Beta lahir di Manokwari, 54 tahun lalu dari keluarga pejuang OPM. Pada tahun 1974, ayah saya hijrah ke Vanuatu, dan mulai saat itu beliau kerap keluar masuk Papua-Vanuatu melalui jalur ilegal," ungkapnya, sambil sesekali menyeruput kopi dan menyedot asap cerutu dalam-dalam.

Lihat selengkapnya