Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #22

Bab 21 - Ingin Kembali Pulang

Taman Tikus, Tawau, Sabah.

Sebulan sebelumnya.


Kecepatan larinya semakin menurun. Sudah dua puluh menitan, ia dikejar dua polis. Di bawah jembatan beton dekat tepi pantai, dia berbelok ke sebuah tempat kumuh. Lalu, bersembunyi pada wadah sampah besar yang penuh lalat.

Banyak sekali warga lusuh yang mendiami wilayah itu. Gubuk kardus dan triplek bekas menjadi noda di wajah megah kota ketiga terbesar di Sabah, Tawau City. Berbeda dengan keadaan kota-kota di pulau Sewarak yang penuh pujian, keadaan daerah-daerah di Sabah tak ubahnya wilayah pulau selain Jawa, di Indonesia.

Lapangan terbang Tawau masih 10 mil lagi dari tempat persembunyian Cut Mae. Sebaliknya, untuk memutar arah pelarian ke perbatasan Nunukan, Kalimantan Timur, Cut Mae membutuhkan stamina 100 kali lipat. Hal itu dikarenakan jarak yang terlampau jauh dengan berjalan kaki. Terlebih dalam kondisi darurat seperti itu, Cut Mae tak dapat mengambil risiko dengan jalur darat.

Rintangan Cut Mae semakin parah saat berpapasan dengan para polis yang sedang men-sweeping TKI ilegal di daerah Taman Tikus. Bagi para pekerja Indonesia yang merantau ke Malaysia, sosok petugas berseragam biru gerau itu ibarat bajak laut penjaga pulau harta. Mereka tak segan-segan mendakwa pendatang yang tidak diinginkan.

Terkadang, mereka seolah tak peduli jika ada orang Indonesia yang bekerja di negerinya ini memakai dokumen resmi atau tidak. Semua orang Indon yang terjaring razia akan dibawa ke dalam truk untuk kemudian ditanyai di balai polis. Warga pendatang yang buta hukum tak bisa mengelak, sebaliknya warga pendatang yang tahu hukum pun tidak bisa membela diri, kecuali menyelesaikan urusannya di balai itu.

Mereka yang terjaring, tetapi punya dokumen resmi yang masih berlaku, masih bisa terlepas jeratan hukuman. Namun, bagi TKI apes yang mati dokumennya, harus menghadapi ancaman penyiksaan di Rumah Merah1. Di tempat itu, TKI harus merasakan kenyataan miris. Makian kotor bagaikan budak sampah, tendangan bertubi-tubi seolah anjing jalanan, dan bentuk pelecehan lain menjadi hal biasa bagi mereka para pendatang haram yang tersekap di Rumah Merah.

Anehnya, segala ancaman dan kabar tak sedap itu seolah angin lalu bagi para pekerja migran asal Indonesia. Alasannya beragam. Satu dari sekian alasan yang paling sering terucap dari mereka para TKI adalah sempitnya lapangan kerja di tanah asal mereka.

Negeri tetangga menjadi tanah yang dijanjikan dalam benak-benak masyarakat. Entah ajaran dari siapa, pernyataan tersebut merajalela di masyarakat ini. Padahal, justru tanah dari Sabang sampai Merauke inilah tanah paling menjanjikan. Segala mineral dan kandungannya, ragam flora dan fauna, sumber daya air yang melimpah, bahkan manusia-manusia kreatif pun terlahir di negeri ini. Sayang, semua anugerah Tuhan ini tak pernah sampai pada satu jawaban yang melegakan: kesejahteraan rakyat.

Sekian banyak TKI yang bertualang ke negeri tetangga, termasuk Sabah, Malaysia. Lapangan kerja terbanyak di Sabah adalah menjadi kuli perkebunan. Di tengah ladang sawit Sabah, puluhan ribu tenaga kerja Indonesia menyandarkan hidupnya sebagai pemetik buah sawit. Selama bertahun-tahun, para TKI bermukim di ladang-ladang yang terletak di pelosok hutan semisal Hutan Simpan Tawau. Mereka bekerja, baik sebagai pekerja legal maupun ilegal, hingga berkeluarga dan memiliki keturunan, tetapi tetap saja mereka hidup dalam kondisi keterbatasan.

Data dari Jabatan Imigrasi Malaysia, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar pertama sebagai penyumbang pendatang tanpa izin. Persentasenya sebesar 83,24 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan imigran Vietnam atau Filipina. Padahal perhitungan itu dilakukan satu dekade lalu, bisa dibayangkan persentasenya di masa sekarang.

Siti Maedar alias Cut Mae adalah salah satunya. Janda asal Aceh itu memang tidak berniat hidup dan mencari uang di Sabah. Nasiblah yang mengirimkannya terdampar di Tawau, Sabah. Tepatnya di Taman Tikus. Sebuah kawasan hitam yang terkenal dengan intensitas kejahatannya yang tinggi di seluruh kawasan distrik Tawau.

Sebetulnya, Cut Mae sendiri terjebak tak sengaja dalam dunia hitam. Awalnya, Cut Mae pamit kepada Muzakiri, anak laki-laki satu-satunya, untuk pergi merantau menjadi Pembantu Rumah Tangga di Kuala Lumpur. Tak pernah sedikit pun Cut Mae menaruh curiga pada orang yang mengajaknya bekerja.

Dulu, orang itu mengatakan bahwa dirinya begitu iba dengan keadaan keluarga Mae setelah ditinggal mati suaminya. Orang itu pun menawarkan pekerjaan tanpa harus bermodal dahulu. Hanya saja, ia mensyaratkan bahwa selain menjadi PRT, Cut Mae dibebankan tugas tambahan menjadi kurir antar negara. Orang kampung macam Cut Mae, tidak terlalu paham dengan istilah pekerjaan tambahan seperti "kurir" itu. Namun, deskripsi keuntungan pekerjaan yang semu, menggiurkan dirinya. Sang calo Penyalur TKI itu mengatakan bahwa dengan pekerjaan tambahan itu, Cut Mae bisa bolak-balik Indonesia-Malaysia dengan mudah. Bahkan, tidak akan memberatkan majikan Cut Mae di Malaysia.

Itulah, pracerita Cut Mae terjebak dalam industri penyeludupan Senjata Ilegal. Majikan Cut Mae di Sabah merupakan pemilik usaha perkebunan sawit di Hutan Tawau. Di balik itu, dia merupakan agen penadah senjata-senjata ilegal dari Borneo, Thailand, dan Singapura.

Pertamanya, Cut Mae yang asal kampung tidak menyadari keterlibatannya dalam sindikat internasional ini. Kesadarannya muncul, setelah televisi lokal menayangkan berita tertangkapnya seorang WNI karena membunuh warga Malaysia dalam suatu perampokan. Dalam pengembangan kasus itu, polisi Malaysia menduga kalau semua senjata ilegal itu masuk melalui jalur pengusaha asli Malaysia sendiri. Sayang, sampai saat ini, polis-polis ini belum bisa menjerat siapa sosok pengusaha asli Malaysia tersebut, yang tidak lain adalah majikan Cut Mae sendiri.

Kebodohankah atau nasib buruk yang membawa petaka terhadap jalan hidup Mae? Selama lima tahun, dia terjebak dan bahkan memaklumi dunia hitam. Hingga kejadian hari itu menegaskan kembali keinginannya untuk keluar dari Sabah. Segera.

 ***


Petugas bea pelabuhan curiga saat Cut Mae menolak membuka barang bawaannya.

“Hanya pakaian dan boneka-boneka kesayangan saya,” ujar Cut Mae.

Tampilannya tidak seperti Cut Mae lima tahun lalu yang lugu dan ngampung. Pakaiannya modis, dengan rok pendek dan kacamata hitam. Dia pun turun dari kapal penyebrangan kelas tinggi.

Lihat selengkapnya