"Sejarah ditulis oleh pihak yang menang perang."
(Voltaire)
Dia menceritakan bagaimana dia memperoleh kaki buntungnya. Dia memperoleh kisah itu saat masih aktif berseragam loreng. Pundaknya masih mengemban tanda satu bunga kuncup. Waktu itu dia masih dipanggil Mayor. Mayor Wiranta namanya. Dia dilibatkan bersama kompi bantuan dari Medan. Walau sebenarnya, dia ditugaskan di Kesatuan Infanteri C Cimahi.
“Situasi politik masih panas ketika itu. Jakarta menetapkan kebijakan DOM di Aceh. Mau tidak mau, prajurit tidak bisa menolak perang saudara.”
Wiranta menggeserkan gelas kopinya ke tengah meja. Pelayan berdasi kupu-kupu membawakan dua piring Ayam Pop dengan Saus Lemon ke meja mereka. Rani menyilakan Wiranta untuk mencicipinya duluan. Wiranta menyilakan balik. Obrolan mereka teruskan. Cafe D’Cost cukup ramai di akhir pekan. Apalagi Bogor tidak turun hujan Sabtu ini.
“Dua orang sudah berada dalam ruangan kantor. Seorang dari mereka memegang tongkat pendek sambil duduk santai. Dia sedang berhadapan denganku saat itu,” lanjut Wiranta.
***
Bandung, 5 tahun silam
“Siap tugas ke Aceh, Mayor?” Tanya seorang berbaret hijau dengan pin warna-warni di dada kanannya.
“Siap, Kolonel!”
“Kau tahu GPK semakin meraja lela?”
“Siap. Ya,” jawab Wiranta tegas.
Di kesatuan Kidang Kencana Siliwangi, Wiranta dikenal ulet. Dia disegani bayak rekan prajurit lain. Meski dia berasal dari Pendidikan Calon Bintara bukan Seleksi Perwira, atasannya selalu mengindahkan dirinya. Itu karena Wiranta punya rekam jejak yang baik dengan kinerjanya sebagai prajurit. Sehingga promosi kepangkatannya, terbilang cepat naik.
“Kalau begitu, minggu depan kau ikut dengan tentara lain dari Medan. Kau berangkat dari sana. Nanti, kau siaga 1. Kau ditempatkan di kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara.” Sejenak Pria yang dipanggil komandan itu berdiri. Sikapnya yang tadi hanya santai dan duduk-duduk saja di meja, berubah. Keningnya mengernyit. Kemudian, dia bersandar ke arah jendela. Pikirannya menerawang. Wiranta ikut larut dalam hening.