Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #24

Bab 23 - Dan, Inongbale Itu Pun Gugur

"Patriotism is a kind of religion; it is egg from which wars are hatched."

(Guy de Mupassant)

 

Sudah tiga hari dua malam berlalu semenjak insiden penyerangan ke EAM Corp. Tampaknya, hutan Aceh terlalu pekat untuk disibak oleh para prajurit yang diberi tugas menangkap pelaku pengeboman.

Satu detasemen penuh infanteri diambil dari garnisun lima kecamatan, untuk kemudian dibagi menjadi dua tim. Kedua tim itu belum mampu menemukan jejak di mana pasukan penyerang bersembunyi. Pasukan Siti Keumala berhasil melarikan diri ke pedalaman hutan Keumala Dalam. Jika ditarik garis lurus, kawasan hutan itu berjarak sekira 60-an KM dari kampung Pucuk Inong.

Kawasan hutan Kemala Dalam penuh dengan misteri dan jebakan. Di rimbunnya daun-daun hijau, masih bisa ditemukan monyet-monyet liar menggantung. Mereka meloncat-loncat sambil mengeluarkan jerit menakutkan dan menampakkan muka-muka menyeringai. Hati-hati pula dengan langkah kaki. Banyak sekali rawa-rawa yang mematikan. Penuh dengan binatang pengganggu ketenangan dan sesekali ikan-ikan aneh yang muncul dengan taring besar.

Benteng itu dibangun seadanya. Seperti kamp-kamp persembunyian para geriliyawan lain. Hanya saja, di tempat itu dibuat sedikit permanen. Dinding-dindingnya dibuat dari batu kali yang disemen, seperti fondasi rumah. Terdapat empat lubang kecil dengan ruangan seukuran 1x1 meter untuk menampung artileri kecil. Ada pula dua menara penjagaan yang dibuat seperti rumah pohon, salah satunya dilengkapi senapan mesin 600 peluru.

Siti Keumala beserta pasukannya bertahan di benteng itu sementara waktu. Tidak seperti kawanan GAM lain yang berpindah-pindah, kelompok Siti Keumala sudah punya posisi markas yang pasti. Dan, di tempat itu sudah berkumpul belasan anggota GAM lain yang siap bergabung dengan pasukan Siti Keumala.

“Bagaimana kondisi kita?” tanya Siti Keumala.

Kekhawatiran Cut Mala berasalan, aksi penyerangan mereka sebelumnya telah menghabiskan banyak persediaan bahan makanan. Begitu pun persenjataan yang belum sempat dikirim dari kelompok GAM pusat. Belum lagi, banyak warga sipil yang menolak memberikan donasi bagi mereka. Hal itu karena beberapa bulan ini banyak tersiar kabar tentang kelakuan beberapa anggota GAM yang membunuh dan memperkosa warga kampung yang tidak bersalah.

“Itulah, mamak. Magasin kita sudah menipis. Begitu pun cadangan makanan kita. Lima anggota kita sudah dikirim ke Grutte untuk meminta tambahan akomodasi. Sementara ini kita membuat senjata ipuh.” ujar seorang yang bertanggung jawab menjaga benteng selama pasukan Siti Keumala pergi ke Pucuk Inong.

“Kalau begitu buat panah bersepuh ipuh1. Pokoknya lapisi semua persenjataan tradisional kita dengan ipuh. Buat juga ranjau igeuh2 di sekitar benteng. TNI sebentar lagi akan menemukan kita. Lakukan dengan cepat!” perintah Siti Keumala.

Semua yang berada di benteng itu segera mempersiapkan diri. Tak terkecuali, Abu Daud dan Munir.

Di pedalaman Aceh, terutama di lereng-lereng pegunungan, tumbuh pohon Siren. Getahnya berwarna putih susu. Getah tersebut keluar dari batang pohon setelah ditakik oleh besi tajam. Getah itu dikumpulkan dalam bumbung kecil, macam menderes getah karet. Setelah mengalami oksidasi, getah ini berubah warna menjadi kuning, lalu cokelat, kemudian menghitam.

Awalnya, getah ini tidak beracun. Setelah ditambahi ramuan tetumbuhan lain dan diolah, getah ini dimasukkan ke dalam buli-buli hingga mengental. Cairan seperti lem karet itu dipakai untuk melumuri ujung anak panah atau sumpit. Akibat dari racun ipuh ini bisa mematikan. Dimulai dengan gejala muntah-muntah, luka membiru, kemudian melumpuhkan persendian, dan dalam hitungan menit korban akan tewas dalam keadaan kejang-kejang.

Kira-kira tengah hari, prediksi Siti Keumala terjadi. Satu ton pasukan penyerang sudah terlihat oleh penjaga menara. Salah seorang dari mereka berseru untuk menyerang sekaligus, ketika melihat ada bangunan mencurigakan mirip benteng di depan mereka. Belasan prajurit menyergap dengan posisi melebar. Di lain sisi, sepasukan kecil GAM memanah mereka dari atas pohon.

Kaget dengan serangan dadakan itu, para prajurit loreng itu terjun ke lembah parit untuk berlindung. Begitu terjun, tak disangka parit tersebut adalah perangkap. Di bawah parit itu sudah ditanami igeuh. Jeritan-jeritan tentara yang kelabakan menuai lengkingan. Suara semakin menyayat gendang telinga, saat muncul berondongan peluru dari celah-celah benteng. Dalam beberapa menit saja, suara teriakan sekarat itu menjadi hening.

Kegaduhan singkat tadi terdengar oleh pasukan besar TNI yang lain. Strategi berubah, serangan diurai ke dua sayap benteng. Sekarang giliran anggota GAM yang bertahan di markas itu, terjepit. Lemparan flashbang cepat merusak fokus mereka. Penglihatan mereka hilang seketika. Sewaktu mata mereka bisa melihat kembali, para tentara nasional sudah masuk ring luar benteng. Delapan penjaga tewas dengan mudah.

“Daud, larilah lewat terowongan belakang. Bawa Munir besertamu. Larilah kalian ke Timur. Dua hari perjalanan dari sini, kalian nanti akan menemukan sebuah desa. Nama desa itu Matang Kumbang. Tempat asal kelahiranku. Hati-hati, hilangkanlah jejak di sana.” Kata Siti Keumala berubah khawatir.

Lihat selengkapnya