Gampong Matang Kumbang, 1974
Pasca kabar kematian Teuku Ali Geuchik
Isah terbangun malam-malam karena mendengar isak tangis Siti Maedar, lalu bangkit dan mendekat pada anak bungsunya itu untuk mengusapi rambut putrinya. Posisi tidur Siti Maedar kecil meringkuk dan menghadap dinding bilik kamar. Tampak, kelopak mata Siti Maedar kecil bergerak-gerak seperti sedang bermimpi buruk. Sementara itu, bulir-bulir air mata meleleh dari sudut-sudut kedua mata yang tertutup. Sesekali juga, terdengar sesegukan kecil yang panjang. Isah melangkahi Siti Keumala yang tidur lebih tenang disebelah Siti Maedar. Kemudian, mendekap pelan anak bungsunya itu dengan hangat.
Di luar, kilatan petir menyilau-nyilaukan malam. Gemuruh yang terlambat bersahut-sahutan dari tempat yang jauh. Meski begitu, gampong Matang Kumbang terasa dingin senyap. Apalagi, dengan renjis air hujan yang menerpa dinding gubuk, tempat ketiga perempuan Aceh beristirah seusai lelah menangis tadi pagi.
Mayat yang diduga Teuku Ali Geuchik sudah dimakamkan bersama belasan warga gampong lain yang ditemukan meninggal di krueng Pesangan. Warga belum tahu sebab kematian anggota keluaga mereka itu. Bagi hampir seluruh gampong, kejadian mayat-mayat yang mengambang di krueng itu mungkin sudah kehendak Allah.
“Sabar, Nak. Kita masih punya Allah di hati,” hibur Isah dengan nada yang rendah dan lambat.
Setelah kejadian itu, Cut Minasah berupaya menjalani hidup seperti biasanya. Asalnya memang Cut Minasah bersama kedua putrinya sudah terbiasa hidup tanpa sang ayah. Mereka mencukupi keseharian dari berjualan gorengan, sale, dan buras. Kadang pula, Isah berlaku sebagai kuli cangkul di ladang tetangga. Apa pun dilakukan demi kebutuhan keluarga.
Isah, sang ibu, selalu tahajud dan tak pernah tidur lagi setelah itu. Katel berisi minyak sudah dipanaskan dari pukul 3 pagi. Mungkin, karena sebab inilah Isah mengeluh reumatik di senja waktu. Dari mulai pukul setengah 3, badan Isah berbau asap karena terlalu dekat ke tungku. Terkadang, saat kedua anaknya bangun subuh hari, wajah Isah penuh jelaga. Jika, itu terjadi, mereka tertawa geli. Dan, tawa itu pula yang sering melupakan kesedihan hidup mereka.
Tahun demi tahun dilewati. Tidak ada ambisi besar dalam hidup Isah. Dalam benaknya, Isah hanya ingin kedua anaknya tumbuh besar dan menikah. Kemudian menjadi istri salehah kelak. Mimpinya, kedua putrinya itu melahirkan keturunan-keturunan baik yang bisa mendoakan orang tuanya. Baginya, perwujudan keinginan itu di kemudian hari, sudah cukup.
Meski kadang kala, dagangannya tidak habis terjual, sehingga mereka sekeluarga tidak makan, sebagai penghematan untuk modal dagang esok harinya. Isah yakin, itulah bentuk lain dari perjuangan seorang wanita. Seperti halnya, perjuangan Laksamana Malahayati, yang sering diceritakan pada kedua anak perempuannya menjelang tidur.
Siti Keumala, anak sulungnya, dipersunting seorang pemuda gagah di usia 18 tahun. Isah berharap, lelaki itu membawa kebahagiaan bagi putrinya. Awalnya, Siti Keumala memang ragu untuk berjodoh dengan Abdul Hakim. Keinginan Siti Keumala pada waktu itu membahagiakan Isah, dengan bekerja mencari uang.
“Tak usahlah kau berpikir seperti itu. Carilah bahagiamu sendiri, Nak. Kalian sudah lebih dari sekadar limbide bagi mamak. Kalianlah selama ini yang melindungi mamak dengan cinta kasih kalian. Saatnya, kau membagi cinta itu pada lelaki yang akan menjadi imammu. Pesan mamak, hormatilah lelakimu. Dialah pemilikmu, karena kau adalah bagian dari tulang rusuknya. Dengan menjadi pendamping yang saleh bagi suamimu, sudah cukup bagi mamak mendapatkan bahagia dunia dan akhirat. Dan itu adalah modal terbaik bagi mamak mendapat rida Allah. Karena berarti mamak sudah berhasil mendidik putri yang salehah,” pesan Isah dalam percakapan menjelang tidur.
Curhat-an dua hati wanita ini membelah langit Aceh, hingga rimis seolah tak kuasa berjatuhan.
Pesan yang sama sampai pada Siti Maedar, sesaat sebelum menerima pinangan lelaki yang menjadi suaminya. Petuah-petuah Isah mengakar dalam pola pikir anak-cucunya. Isah punya cara sendiri untuk mengajarkan perjuangan hidup tanpa harus mengangkat senjata. Tanah Rencong punya banyak titisan Malahayati; perempuan-perempuan macam Isah-lah yang menjadikan kisah Malahayati tetap terpelihara. Meski dengan perwujudan yang sederhana: qanaah.
***
Desa Matang Kumbang
19 Desember 30 tahun kemudian
“Begitulah, cucuku. Seperti itulah, kisah yang bisa nenek ceritakan padamu. Ketabahan dan keberanian adalah dua hal yang saling berkaitan,” tutur Nek Isah di tempat tidur.
Muslim yang dengan setia mendengarkan cerita-cerita luar biasa sang nenek tergerak hatinya. Kedua tangannya memijit-mijit kaki sang nenek yang merebah. Nek Isah sudah dua hari ini susah berjalan. Reumatiknya terlalu sulit diajak kompromi. Penyakit itu mengharuskan dia beristirahat lama di tempat tidur.
“Kalau begitu. Muslim berangkat ke hutan dulu ya nek. Teman-teman sudah menjemput. Doakan Muslim mendapat bagian yang banyak hari ini. Biar bisa makan enak nanti malam,” ujar bocah itu dengan semangat.
Bungsu Siti Kemala ini harus meninggalkan bangku sekolah untuk menderes getah karet di hutan. Nantinya, penjualan getah karet yang tak seberapa ini harus cukup memenuhi keseharian mereka berdua. Tidak adanya kabar mengenai Risma yang merantau, mengharuskan keluarga sisa itu mencari solusi untuk tetap bertahan hidup.
“Semoga kelak, kau bisa menjadi orang besar dan gagah, sebagai buah dari kesabaranmu,” tambah Isah dalam hatinya.
Kali ini kakinya bisa digerakkan menginjak lantai, walau dengan rasa sakit yang menghujam. Muslim memapah neneknya berdiri, lalu mencium tangannya. Sang nenek mengusap lembut rambut cucunya sambil menahan haru.
***
Rimba Bur Ni Geureudong, 1994
Pasca Munir mengetahui kekerabatannya dengan Tuk Ali Geuchik