Kerudung merah Risma sudah demikian pesuk. Benang pada renda-rendanya sudah banyak yang tercabut. Terdapat sebuah lubang yang mengerut di bagian belakang telinga, mungkin karena terkena percikan bubuk mesiu yang menyala atau bisa juga karena ranting pohon kering. Walau begitu, kerudung itu masih dikenakan Risma. Baginya, kerudung itu bukan sekadar hijab. Kerudung merah itu adalah identitas perjuangan. Satu-satunya benda yang melekat pada kepala Risma, selama mendapatkan cobaan yang mendera.
Bawahan mukena ditinggalkan di kamp almarhum Bonsapia. Pakaiannya pun sudah berganti. Kebetulan, Bonsapia punya stok pakaian ninja all size. Disebut begitu karena baju dan celananya memang berwarna hitam. Kostum itu distok dari GAM pusat untuk dibagikan kepada para Inongbale. Hanya saja, Risma masih tidak memakai alas kaki. Terakhir kali, dia memakai sandal jepit -entah punya siapa- di kamp, namun karena dianggap memperhambat laju pelariannya, sandal itu pun dilempar ke jurang.
Bagaimana dengan Ambar? Pria itu sudah menanggalkan pakaian ketentaraannya. Tak lagi berkemeja atau berseragam, hanya kaos oblong hijau dan celana pangsi hitam. Seperti halnya Risma, dia pun tak beralas kaki. Sepatu bot PDL ditunda di ruang sandera Salim Bonsapia. Pelindung mereka hanya sebuah senapan serbu berukuran sedang pemberian Mayor Sege.
“Kau makanlah ini. Tabahkan dirimu ya? Sebentar lagi kita akan sampai ke jalan raya.” Ambar menyerahkan sejumput buah beri yang dipetiknya di perjalanan. Dengan kondisi tanpa perbekalan dan air, tak ada jalan lain bagi mereka untuk survive dengan memakan vegetasi hutan.
Tetapi, alih-alih bertahan hidup, sekali saja salah memilih tanaman, maka nyawa adalah taruhannya. Seperti halnya jamur. Ambar tak mau sembarangan memanfaatkan tumbuhan ini. Meski rasanya enak dan mengenyangkan, beberapa jenis jamur sangat beracun. Apalagi, jamur dari marga Amanita, Lactarius, Rusula, dan Boletus, mempunyai ciri-ciri yang hampir sama, yaitu warna yang mencolok dan berbau tak sedap. Ciri inilah yang memungkinkan senyawa kimia berbahaya terdapat pada daging jamur itu.
Risma duduk pada sebuah batang pohon roboh yang berlumut. Gadis lugu itu berusaha menikmati buah beri yang masam. Ambar berdiri menyender pada batang pohon pinus besar. Telapak kaki kirinya diangkat dan menyandar di bawah bokong. Wajahnya berubah sedih, ketika dia menyaksikan perempuan di depannya makan dengan lahap. Kepalanya menengok kanan-kiri, semoga masih bisa menemukan buah-buahan atau dedaunan lain yang bisa diberikan pada Risma untuk dimakan.
Terakhir kali, mereka mencicipi makanan adalah saat masih mengobrol kekeluargaan dengan Salim Bonsapia. Pemimpin GAM asal Papua itu sangat ramah dan paham. Ambar sendiri tak menyangka akan jadi seorang sandera. Justru pandangan dan cerita tentang disandera sewaktu masih menggali ilmu di akademi digambarkan begitu mengerikan. Nyatanya, pengalaman di kamp pasukan GAM Bonsapia menepis anggapan itu.
“Kau masih bisa? Adakah kau mau kubantu berdiri,” Ambar menawarkan diri untuk mengangkat tubuh Risma.
Gadis itu menolak dengan halus. Sekali lagi, Ambar lebih paham karakter gadis yang kini dilindunginya itu.
“Oh... maaf,” gagap Ambar sambil bergerak ke samping.
Semakin lama, keteguhan Risma telah memekarkan kuncup cinta di sanubari desertir itu.
Cinta memang terkadang lahir dari rasa iba. Karena dengan begitu orang yang mencinta itu tidak akan meminta atau menerima. Dia akan memilih untuk memberi dan meresapi. Dengan begitu dia menjadi haru dan berharap satu dengan orang yang dicintanya. Rasa iba tersebut tidak sekadar mengasihani, namun mengasihi. Yang menjadikan cinta itu kuat, tidak melemahkan, adalah keinginan untuk terus mendoakan orang yang diibainya.
Apa yang membuat seorang perwira berbakat rela menjatuhkan pangkat kehormatannya? Adalah mata perempuan Lamno yang berembun. Bukan pada wajah cantik wanita dengan pulasan SPF-5 atau wanita dengan gaun rancangan Fashion Designer; karena Risma tak punya keduanya. Ya, mata Rismalah awal mula keputusan Ambar membelokkan setir kehidupannya.
Apakah itu salah?
Jika, Ambar memang telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Mata perempuan yang penuh dengan cerita haru dan iba. Maka, cinta adalah sebuah zat yang penuh rasa dan unsur kimiawi, begitu abstrak begitu nyata. Sehingga, tidak perlulah alasan untuk menyangkal perasaan ilahiah itu.
“Ris, aku berdoa suatu hari nanti Allah akan meridai uluran tanganku padamu. Suatu hati nanti, akulah yang akan menjadi pembebasmu. Aku bukanlah pengkhianat negara. Aku disebut pengkhianat, jika aku membiarkanmu terus tersakiti dari kekejaman perang ini.” ujar Ambar tiba-tiba.
Risma tak bisa berkata-kata. Seperti biasa, hanya matanya yang bicara.