Perempuan Sehabis Gelombang

Panji Pratama
Chapter #27

Bab 26 - Lembide

Ambar memberitahu kalau hari sudah hampir pagi. Kedua mata Risma bengkak setelah semalaman menangis. Setelah kejadian kemarin, mereka kembali masuk hutan dan membangun kemah alam dari reranting pohon untuk beristirahat.

Laki-laki itu duduk dengan tangan memeluk perempuan sendu itu, berusaha membuatnya sedikit hangat. Semalaman juga, Ambar tidur tidak nyenyak. Dia waspada terus-terusan, memandang kegelapan tak bernama dengan lantunan burung Hantu yang memilukan. Seusai menyaksikan penjemputan Nek Isah, hujan turun terus-menerus. Mereka tidak bisa menyalakan api karena semua kayu bakar terlalu basah. Pun baju basah mereka yang tidak ada ganti.

“Kau tayamumlah dulu, lalu salat subuh. Setelah agak terang, kita cari buah-buahan untuk menambah tenaga. Aku mendengar suara air sungai dari arah Barat. Kita bisa menyusurinya. Jika beruntung, esok pagi kita sudah lewat Bireun,” ujar Ambar takzim.

Risma mengangguk dan segera mencari tempat yang agak bersih untuk sembahyang. Kini, tak ada lagi alasan bagi perempuan rapuh itu untuk bangkit dari kepedihan. Dengan begitu, Ambarlah satu-satunya harapan dirinya. Mungkin, lewat laki-laki tersebut Tuhan menjawab doa-doanya. Meski, dia tahu, tidak ada pilihan yang lebih melegakan juga. Pergi bersama Ambar dengan cara yang sangat berbahaya atau menyerahkan diri ke tangan TNI untuk melihat neneknya.

Ketika atap rimba sudah cerah, mereka turun ke sisi sungai, lalu berjalan melewati bebatuan kali yang licin. Air sungai Peusangan di bukit masih asri. Selokan-selokan kecil dari mata air di balik bebatuan menuju aliran sungai yang besar. Arus sungai tidak terlalu kencang, menandakan kedalaman di tengah cukup dalam. Mereka berhenti sejenak, saat menemukan buah durian yang hanyut tersangkut di sisi sungai.

“Makanlah. Biar aku cuci muka dulu.” Seru Ambar, kemudian meloncat ke sebongkah batu yang agak besar untuk mencuci badan.

“Kau dengar sesuatu?” lanjutnya.

Risma menggeleng pelan. Kunyahan duriannya dihentikan sejenak, lalu berdiri. Mencoba memperhatikan bunyi-bunyian yang Ambar katakan barusan.

“Terdengar seperti suara mengalun. Bagai suara harpa.” Ambar meregangkan badan. Didengarkannya suara itu dengan lebih jelas. Terlebih banyak bunyi-bunyi lain seperti derik serangga dan umpatan simpanse yang muncul tenggelam, sehingga menutupi sumber suara yang mereka maksud.

Suara itu seolah datang dari jauh; lembut dan merdu. Perlahan mendekat dan lebih dekat lagi, hingga jelas dan jernih. Semacam alunan musik dari bus malam yang melewati wilayah sepi.

Subhanallah!” gumam Risma. Ambar kembali ke samping Risma dan ikut terpana.

“Suaranya dari sana. Ayo kita cek?” ajak Ambar.

Sungai itu terbelah menjadi tiga jalur. Aliran yang besar mengalir lurus ke barat. Satu jalur yang berarus agak kencang membelok ke kanan, pastinya berpuluh kilometer lagi bermuara ke Selat Malaka. Sedangkan, aliran yang lebih kecil mengarah ke kiri. Suara mengalun tadi berasal dari belokan aliran air ke situ. Gejala alam yang sering disebut sebagai nafas arus sungai. Lebih dari itu, air yang bersuara itu menyatu menjadi sebuah danau kecil yang indah.

Sepasang insan itu kian terpukau. Mereka berjalan ke tepian danau itu. Terdapat sebuah pohon rindang dengan padang ilalang di sekitarnya. Tanpa sadar mereka telah duduk berdampingan di bawah pohon itu sambil memandang danau.

“Kurasa. Kita bisa sebentar melupakan kepedihanmu di tempat ini.” Ambar menghela nafas panjang. Senapannya diberdirikan di batang pohon.

“Allah memang adil. Aceh memang penuh tragedi, tetapi tanah ini punya segala-galanya.” Sebut Risma. Perkataan itu membuat Ambar heran sekaligus tersenyum. Baru kali ini, dia mendengar Risma berbicara kembali dengan lepas. Kelegaan menyertai mereka.

Di tempat itu, langit bisa terlihat jelas. Tidak tertutup daun-daun lebat seperti di dalam rimba. Lebih banyak kupu-kupu dan suara angin semilir, daripada lengkingan burung Hantu mencari mangsa. Dan, di tempat itu Ambar bisa merebahkan diri hingga terlelap di samping Risma. Hingga gadis itu menatap dalam wajah Ambar. Sosok lelaki yang telah membawa banyak kisah baru, hingga bisa sedikit melupakan riwayat pilunya.

Lama sekali Ambar terlelap. Begitu pun Risma, sudah cukup lama mata Lamnonya memandang wajah Ambar dengan lekat. Sesudah itu, beberapa detik Risma berpaling dan kembali memandang wajah laki-laki itu. Wajah Risma merona saat sadar Ambar sudah bangun namun sengaja menutup matanya. Perempuan itu buru-buru mengajukan pertanyaan, untuk menutupi salah tingkahnya.

“Boleh aku tanya sesuatu?” kata Risma mengalihkan pandangan.

Lihat selengkapnya