22 Desember 2004
Pelarian Ambar dan Risma dilanjutkan. Berkaca dari kejadian kemarin di danau, Ambar yakin para petugas Pasukan Gabungan yang mengejar mereka sudah menunggu di jalan-jalan utama perbatasan, antara Wilayah I dan Wilayah II.
Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi mereka untuk mencari jalur kabur sedikit ke arah barat laut. Kembali, mereka harus meniti jalur sungai besar. Sebetulnya, Ambar bisa saja membuat rakit sederhana dari bilah kayu yang tumbang. Mengingat arus sungai yang kencang dan berbatu, baiknya Ambar dan Risma berjalan kaki saja.
“Kau baik-baik saja, Dik?” Mendadak, Ambar memanggil begitu kepada Risma, menandakan betapa sayangnya Ambar pada perempuan yang baru dua bulan ini dikenalnya.
Risma menoleh heran. Meski begitu, ada getar rasa yang berbeda saat dia dipanggil “Dik”. Baru kali ini Risma merasakan kenyamanan di sisi seorang lelaki. Agaknya, petualangan dua jiwa ini lepas dari belenggu perang mengaktifkan impuls-impuls cinta di kedua hati mereka.
Terutama Risma, impuls itu merupa simpul satuan muatan di dalam otak hingga bersenyawa menjadi rasa yang belum pernah dikenalnya. Panggilan ”Dik” itulah yang semakin mendewasakan Risma. Bahwa, dia masih bisa merasakan kasih sayang seorang laki-laki.
Kali ini, dia tidak ingin perasaan cinta yang baru dikenalnya ini hilang dari otak dan hatinya. Biarlah, latar belakang kepedihan hidupnya berganti lembaran baru yang lebih indah bersama sosok Ambar. Kelak.
“Iya, Abang.” Seulas senyum menyinari wajah Risma. Risma menggenggam tangan Ambar saat hendak meloncati batu kali yang menghalang. Ya, perempuan itu meraih jemari Ambar lebih dulu.
“Lihat, sebuah jembatan gantung?” Risma menunjuk. Matahari sudah hampir meninggalkan langit, titik-titik embun mulai menaungi sekeliling mereka.
Siluet besi mengambang di atas sungai terlihat mulai jelas. Terdapat dua pancang tiang yang menahan bentangan kabel besi berdiameter setebal botol air mineral. Bilah-bilah papan dari kayu besi, yang akan semakin kuat jika tersapu air hujan, disusun dengan rangka besi di kedua sisinya.
“Jembatan gantung Kubang Hitam,” Ambar menyebutkan. “Kukira kita bisa naik ke sana dan menumpang sepeda motor penduduk lokal. Jalur itu kudengar melewati rute alternatif border perbatasan. Bila ada kesempatan, kita bisa menumpang truk pengangkut hasil pertanian ke kota Pantai Ujung Utara. Biasanya pertengahan Desember begini, lalu lintas perdagangan memuncak, menjelang Natal dan tahun Baru. Ini momen terbaik untuk melarikan diri lewat pelabuhan, mengingat konsentrasi mereka pasti teralihkan. Di sana, kita bisa mencari kapal untuk ke negeri seberang.”
Ambar menyembunyikan senapan tangan pemberian Mayor Sege di balik kausnya. Keduanya sudah berada di semak dekat jembatan. Tidak banyak warga lalu lalang melintasi jembatan itu.
Sepuluh menit berlalu, suara-suara jangkrik mewarnai rimba sekitar, serupa konser orkestra di dalam arena stadion. Sebuah sepeda motor tua dengan rangka bodi yang rusak melintas dari arah tanjakan jalan. Ambar keluar dari semak belukar, sambil merentangkan kedua tangannya di tengah jalan. Pengemudi yang sontak kaget kehilangan keseimbangan dan membanting kemudi hingga tersungkur ke kerikil. Sepeda motornya terguling di badan jalan.
“Maafkan aku. Kupikir tidak terlalu mengagetkan Anda. Bisakah Anda menolong kami?” pinta Ambar, yang membantu mengangkat sepeda motor itu. Sekilas, ujung pegangan pistol semi-otomatis yang dibawanya menyembul dari balik kaus. Pengemudi yang membawa hasil panen kakao itu mundur ketakutan.
“Siapa kau?” Pengemudi itu bangkit dan bergegas membuka jok sepeda motornya. Dia mengeluarkan sepucuk mitraliur rakitan dan menyuruh Ambar untuk mundur.