Bandara Pulau Besar, 24 Desember 2004
Rani melewati koridor tertutup tanpa jendela yang menghubungkan gedung bandara dengan badan pesawat. Ratusan calon penumpang berjalan mengantre bagai kawanan semut yang berjalan dalam pipa panjang. Tidak seperti biasanya, Rani tidak membawa banyak bawaan untuk destinasi kali ini. Hanya ada beberapa pasang pakaian ganti dan sebuah stetoskop. Tuntutan pekerjaan mengharuskan benda itu selalu dibawa serta.
Libur menjelang Natal dan tahun baru membuat jadwal pemberangkatan penuh. Tiap tahun, peristiwa membeludaknya jumlah penumpang dan permasalahan lain seputar pulang kampung seolah tidak pernah menjadi bahan pembelajaran bagi penyedia sarana transportasi massal. Hanya kalangan tertentu yang dapat memeroleh tiket dengan mudah. Rani termasuk beruntung. Kedekatannya dengan banyak orang, belum lagi statusnya sebagai anak pejabat militer, membuat dia tidak perlu susah-susah mendapatkan fasilitas. Pada waktu-waktu sibuk seperti akhir Desember, Rani tetap dengan mudah mendapatkan tiket.
Pria tua di depannya menaiki pesawat dengan hati-hati. Rani mengkutinya dari belakang. Dua pramugari cantik menyambut mereka dengan senyuman hangat. Mereka duduk bersebelahan, di tepi koridor belakang.
“Cuaca sedang bermurah hati saat ini. Sayang sekali, padahal aku senang melihat pemandangan dari udara. Menyaksikan lautan, hutan, atap rumah, atau bebukit itu dapat menghilangkan kegetiran,” ucap Dirman Ibrahim sambil meregangkan sebelah kaki. Adapun kaki yang satunya lagi hanya berupa potongan besi.
Rani tersenyum hambar. Perempuan itu tetap cantik meski sedang dalam kegalauan. Kulitnya kuning dan bermata sipitParasnya putih sipit. Dugaan orang, dia adalah turis Asia Timur. Postur tubuhnya tinggi lampai dengan busana jin sporty. Rambut ikal menggantungnya dibiarkan tergerai.
Lebih dari itu, tubuh perempuan kota itu mengeluarkan aroma melati. Setiap lelaki yang menangkap aroma itu dapat langsung membayangkan kemolekan paras pemilik wewangian tersebut. Sungguh, kecantikan yang membuat pria-pria bertekuk lutut.
“Om benar. Semoga langit terus cerah sampai kita mendarat di tujuan.” Rani membantu membetulkan sabuk pengaman Dirman yang tergulung.
Pukul 18.00 waktu Ibu Kota, pesawat tinggal landas. Semua penumpang merasakan kehilangan gravitasi untuk beberapa saat. Pilot memperkenalkan diri setelah pesawat sudah mengudara. Setelah itu, para pramugari membawakan troli dan menawarkan berbagai macam penganan.
“Bagaimana kabar ayahmu? Apa kau bilang, kau akan pergi ke Pulau Barat pada ayahmu?” Dirman bertanya membuka percakapan.
“Dia baik. Saya kira, saya sudah besar. Ayah tidak perlu tahu atau mungkin tidak mau tahu kegiatan saya. Jadi, bila dia perlu saya, dia pasti telefon,” Rani menjawab.
Dua gelas kopi disodorkan pramugari kepada mereka. Senyuman gadis berbalut busana ketat itu kecut. Mungkin pramugari bersyal kuning itu merasa tersaingi oleh tampilan fisik Rani. Pramugari itu langsung masuk ruang dapur untuk bergosip dengan kawannya.
“Bagaimana dengan rencana pertunanganmu? Bukankah akhir tahun ini?”
“Entahlah. Persoalan itu, saya tak terlalu pikirkan. Biar ayah saja yang menikah dengan dia?” Risma mencoba mengalihkan pembicaraan.
Pria tua itu menyeruput kopi sedikit. Bibirnya memerah karena panas. “Kuperhatikan, akhir-akhir ini sikapmu berubah pada ayahmu. Sudahlah, bagaimanapun dia tetap ayahmu. Melunaklah padanya.”