Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelamnya bumi dan apa yang di atasnya ke dalam bumi (gempa bumi dan tanah longsor), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain.”
(HR. Tirmidzi, 2136)
Dini hari, 26 Desember 2004
BELASAN mil dari pelabuhan besar, Risma dan Ambar akhirnya mendapatkan tumpangan. Meski demikian, sang sopir tidak sadar terdapat sepasang manusia yang bersembunyi di belakang truknya. Mereka melipat tubuh mereka dan bersembunyi di sebuah peti besar yang kemudian dijejali dengan remahan-remahan kotoran gergaji. Truk ekspedisi yang membawa kargo pecah belah, semacam porselen untuk diekspor.
Setelah melalui jembatan timbang, truk itu berhenti di kawasan parkir truk-truk besar. Sang sopir tersenyum akrab dan berbicara dengan beberapa tentara Pasukan Gabungan yang biasa menjaga dan merazia kendaraan-kendaraan yang keluar-masuk gerbang kota pelabuhan.
Ia mengangsurkan lipatan kertas berisikan beberapa lembar rupiah dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa daerah, lalu saling melempar senyum. Seseorang dari mereka memperlihatkan foto bergambar Lettu Ambar Ibrahim. Sopir truk beserta kondekturnya hanya menyembulkan bibir bawahnya, lalu menggeleng.
Satu jam lamanya, truk itu berhenti. Sang sopir belum kembali dari warung nasi 24 jam yang dimasukinya setelah menyuap penjaga gerbang kota pelabuhan tadi. Ambar merasakan isyarat buruk jika terus menunggu truk ini kembali melaju masuk pelabuhan. Ia lalu membangunkan Risma, menyobek terpal penutup di bagian belakang, lalu melompat keluar truk dan menghindari keramaian.
Tubuh Risma kehilangan keseimbangan saat diajak berlari sambil menunduk. Matanya masih menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya subuh yang belum jua menyingsing. Beberapa kali, tampak jemari lembutnya mengusap-usap hidung dan mata untuk menyegarkan diri dari kantuk yang tersisa. Sesaat setelah menemukan tempat aman untuk bersembunyi, Ambar memantau keadaan sekitar. Pandangannya terfokus pada marka jalan dan alamat jalan pada sebuah plang toko di pertigaan jalan.
“Jalan Pahlawan.”
Ambar membalikkan badan, kemudian membuka mulut hendak menyampaikan kabar gembira. Belum sempat bicara, lelaki itu merasakan sesuatu yang aneh pada Risma. Muka gadis itu berubah pucat. Tiba-tiba ada gerakan cepat dari dalam lambungnya, naik ke tenggorokan, lalu menyembur keluar lewat mulut. Cairan kental putih kekuningan dimuntahkan Risma.
“Kau tidak apa-apa?” ujar Ambar sambil memandangi lekat wajah perempuan di hadapannya. “Kau tahu, barusan kau telah memuntahi tanah pembebasan kita. Sebentar lagi, kita tiba di kota pelabuhan.”
Di tempat berbeda, dua jam sebelumnya. Sebuah mobil penyerang berpelat hijau singgah di pos perbatasan. Seorang yang sepuluh menit sebelumnya turun dari mobil Cakra Fav itu mencak-mencak. Gelas kaleng berisi kopi dan makanan ringan yang berada di atas meja diacak-acak.
“Dasar tolol! Kalian telah meloloskan buronan paling dicari dan malah enak-enakan pesta pora begini,” Letkol Naigolan memaki sambil menunjuk-nunjuk tepat ke arah kening sang penjaga gerbang kota pelabuhan.
Belum pula amarahnya reda, unit pengintai itu kembali bergegas untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Menurut informasi dari prajurit penjaga gerbang kota pelabuhan barusan, truk ekspedisi itu mungkin akan menuju Pelabuhan Benteng.
Dalam benak sang perwira militer, hanya ada satu pilihan ke mana para buronan pergi. Satu-satunya tujuan utama para buronan melarikan diri ke utara pasti untuk menyeberang ke pulau lain. Atau paling tidak keluar dari Pulau Barat lewat laut.
“Ke Pelabuhan Benteng. Cepat!”
***
Ambar dan Risma baru satu kilometer jauhnya meninggalkan perempatan jalan itu. Secara tiba-tiba, terdengar gema letusan senapan dari tempat mereka diturunkan dari truk tadi. Truk ekspedisi yang membawa mereka disergap tentara pemberontak. Sopir dan kondektur tidak bisa melawan saat harta mereka dikuras. Satu tembakan di kaki kanan membuat sang sopir kepayahan.
Teriakan penjaga warung membelah langit kawasan parkiran tempat truk-truk ekspedisi menunggu kedatangan kapal kargo, pagi itu.
“Sebentar, kau tunggulah di sini.” Ambar menunduk lalu melepaskan sebuah kalung dengan bandul kompas dari lehernya.
“Kau peganglah ini. Seperti kau tahu, kompas ini adalah barang pemberian almarhum ibuku. Barang ini pula yang terus menemani kita selama pelarian. Aku akan kembali segera. Kalaupun terlambat, kau pergi saja ke pelabuhan terlebih dahulu,” dia menambahkan. Keempat mata melamur tiba-tiba.
“Tapi....” Risma ragu. Wajahnya lebih pucat dibanding ketika muntah tadi.