Perempuan Suamiku

Noura Publishing
Chapter #1

Pernikahan adalah Ide Besar

Secara fisik dan psikologis perempuan berbeda dengan laki-laki, berbeda juga cara memandang perkawinan. Mungkin itu sebabnya, persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan lebih menarik bagi penulis perempuan daripada penulis laki-laki. Hampir semua pengarang perempuan memiliki buku-buku dengan tema ini. N.H. Dini dengan Pada Sebuah Kapal, Asma Nadia dengan Surga yang Tak Dirindukan, Ayu Utami dengan Parasit Lajang dan Eks Parasit Lajang, Leila S. Chudori dengan 9 Nadhira, dan masih banyak lagi. Menurut saya, pada dasarnya hampir semua karya ini berbicara hal yang sama, dengan cara berbeda. Bahwa pernikahan adalah ide besar. Oleh karena besar, tentu menyediakan masalah-masalah yang sama besarnya dengan kehidupan.

Bagi saya pernikahan sungguh puitis dan oleh karena­nya menyediakan pilihan-pilihan yang ambigu, hal-hal menye­nangkan, dan menyebalkan datang dan pergi. Maka, tokoh dalam karya-karya N.H. Dini menyediakan jalan keluar dengan jatuh cinta pada laki-laki lain selain pasangan resminya, lalu Asma Nadia menceritakan tentang jalan menuju surga yang tak dirindukan oleh para perempuan, bernama poligami, sedangkan Ayu Utami bertengkar dengan dirinya sendiri melalui ide-idenya, kelajangannya dan ketidaklajangannya, kemudian Leila S. Chudori dengan konflik psikologis Nadira dalam hidupnya sebagai perempuan yang melihat ibunya bunuh diri. Maka, buku saya tentu saja akan bercerita tentang ambiguitas, sebagaimana bahan bakar perkawinan adalah itu.

Seperti saya bercerita dalam kisah-kisah fiksi dalam kumpulan cerita ini, tentang betapa Islam memiliki dua aturan yang sungguh memberikan sebenar-benar hak dan penghormatan pada wanita, dalam aturan perceraian, mahar, dan poligami. Mahar adalah hak perempuan, semacam jaminan finansial atas waktu yang akan diberikannya untuk suami dan keluarga, dan asuransi jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti perceraian, kematian suami, dia memiliki mahar sebagai otoritas finansial untuk melindungi kehidupannya. Menggugat cerai adalah hak, yang bagi saya sungguh merupakan kehormatan. Islam memberikan perempuan hak untuk “berkeberatan meneruskan pernikahan” yang bisa jadi merupakan solusi, jika terjadi sesuatu yang menimpanya sebagaimana problematika sosial masa kini, seperti perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, atau suami yang tidak bertanggung jawab. Dalam poligami pun, Islam membebankan tuntutan yang tidak mudah bagi laki-laki yang memilih untuk melakukannya, yakni tuntutan untuk adil dalam masalah materiel. Norma-norma ini tidak ada dalam agama-agama lain. Sungguh saya bersyukur menjadi Muslimah.

Maka, Perempuan Suamiku ini hadir kembali kehadirat pembaca, setelah diterbitkan oleh Asy-Syaamil pada 2004. Noura Publishing menerbitkan kembali naskah ini dengan tambahan beberapa cerpen baru yang hampir sama temanya, agar pembaca bisa sedikit mengikuti dinamika pemikiran saya tentang relasi perempuan dan pernikahan. Beberapa cerpen lama dalam kumpulan naskah ini, menurut saya masih relevan dengan persoalan-persoalan perempuan, terutama perempuan Islam. Dari cerpen-cerpen baru, seperti Malika, Satu Malam, dan ada beberapa yang lain, mungkin Anda akan bisa membedakan cara saya menulis dulu dan sekarang. Saya tidak memiliki kekhawatiran tentang relevansi, sebab isu relasi perempuan adalah isu abadi.

Selamat membaca, ya![]

Intan Savitri

Lihat selengkapnya