Perempuan Suamiku

Noura Publishing
Chapter #2

Langit Tanpa Tepi

Ada yang menyesak dan mengendap dalam dadaku. Sesuatu yang berat, menghunjam dalam diam. Pada tanah merah dan basah karena dingin air kendi yang menjelma getas, terasa mengiris-iris hati. Aku masih ingin menangis meski mata air di kelopak mataku telah kering. Suara teriakan burung gagak yang bernada minor, seperti ratapan penanda kepedihan, membuat sepi makin menggigit, bahkan di tepi-tepi jantungku. Aku belum mau beranjak meski kaki-kaki takziyin telah lama pergi.

Aku tahu Rasulullah Saw. melarang ratapan dalam kematian, maka biarlah aku meratap dalam hati. Menyesali betapa bodohnya aku, betapa tak acuhnya aku padanya meski ia begitu cinta. Aku tahu Rasulullah Saw. melarang untuk mengatakan “seandainya”, sebab ia adalah pintu setan, maka biarlah aku menelannya dalam-dalam pada permohonan ampunanku kepada-Nya. Yang Mahacinta ternyata lebih berhak atas istriku; Yang Mahacinta ternyata lebih menghendaki ruhnya bersemayam bersama kebaikan di pintu-pintu surga, sebab barangkali aku tidak cukup amanah menjaganya. Ampuni aku, ya Rabb.

Lelaki itu adalah aku, yang menatap rembulan tipis meski siang terik bersama serabut awan tertiup pusaran angin; aku yang tidak pernah menyesali tubuh ringkih yang beberapa jam lalu bersemayam pada tanah dingin ini. Tahun-tahun penuh cinta. Tahun-tahun penuh berkah. Meskipun aku tidak pernah mampu menyebutnya dengan lisanku, salahkah aku jika air mata ini terasa menjelma darah sebab sumbernya pada kelopak mataku telah kering? Ampunilah aku, ya Rabb.



“Kok enggak bilang terima kasih sih, Mas. Ayo, dong ....” Nindya menggelayut pada lengan kukuhku.

Jam tangan hadiah ulang tahun ke tiga puluhku dari Nindya memang sangat gagah. Macho, kata Nindya, ketika membantuku mengenakannya. Akan tetapi, untuk mengucapkan terima kasih, rasanya berat. Ah, mengapa dulu aku dibesarkan dalam keluarga yang kaku? Tidak ada terima kasih, tidak ada ucapan mesra, tidak ada pelukan sayang. Tidak seperti keluarga Nindya yang superhangat. Meskipun kadang terlalu ramai dan ekspresif buatku, kemanjaan Nindya membuatku merasa dibutuhkan dan dicintai. Ah, sudah sewajarnya ia memberikan sesuatu di hari ulang tahunku?

Tanganku kemudian mengusap puncak kepalanya yang mungil. Itu adalah tanda terima kasihku kepadanya. Semoga ia tetap mencatatnya demikian, tersenyum dan sekilas menyentuh pipinya.

“Nanti pulang jam berapa? Sekalian jemput anak-anak, kan? Mas ada rapat sampai Isya,” kataku mengalihkan.

Kulihat sekilas Nindya menghela napas panjang. Tidak terlalu kentara. Aku pun tidak memperhatikan. Hmm, apa ya yang harus kupersiapkan untuk rapat nanti? O, ya, aku belum memfotokopi transparansi untuk presentasi. Aah, harus mampir, nih. Aku segera mempercepat tigerku agar tidak terlambat.



Aroma yang menguar dari meja makan menggelitik penciumanku, mengirim pesan dengan nada tunggal pada otakku. Makan, makan, makan.

“Eiit! Cuci tangan dulu!” Nindya memelototkan matanya sambil melirik anak-anak, menahanku yang siap mencolek capcay dan bistik lidah. Hmm makanan favorit, nih.

“Iya, Tante!” Aku menjulurkan lidah.

Mata Nindya membulat. Selesai mencuci tangan, kulihat Nindya menyalakan lilin angka tiga puluh. Memasangnya hati-hati di atas nasi kuning yang menggunung dengan hiasan sayur dan buah warna-warni. Kapan menyiapkannya, ya?

“Kapan nyiapinnya, Mi?”

“Ada, deh ….”

“Kapan?”

“Ya, kan Ummi sengaja pulang cepat,” tukasnya. Jemarinya merapikan segala sesuatu di atas meja.

“Sekarang boleh makan?”

“Abi sudah shalat Isya?”

“Sudah, tadi dalam perjalanan pulang.” Mataku tidak lepas dari makanan di atas meja. Makanan jauh lebih menarik daripada wajah istriku yang sebenarnya justru lain dibanding biasanya. Ada lipstik pink tipis dan rouge merah jambu yang membuat wajah putihnya semakin cerah.

Aku melahap bistik lidah dan nasi kuning dengan penuh selera. Nindya menatapku dengan tatapan mata yang begitu sulit untuk diterjemahkan.

“Enggak makan?” Aku baru tersadar, sebab Nindya tidak juga menyentuhkan sendok nasinya.

“Mau ….” Suaranya seperti tercekik.

Namun, aku tidak biasa memperhatikan nada suara. Ketika kulihat Nindya mulai menggerakkan tangannya untuk menyendok nasi, aku pun semakin lahap.

“Ayo, ucapin selamat ulang tahun buat Abi!” Nindya memberi aba-aba kepada anak-anak. Mereka berbaris antre menyalamiku. Aku tertawa. Si Bungsu, Gagih, yang masih cadel, berteriak sambil menarik jenggotku. Nindya tersenyum. Ia sungguh cantik, tapi aku tidak tahu harus berkomentar apa.

Setelah makan, aku menemani Nindya mendampingi anak-anak belajar bersama. Anak-anakku lumayan terkendali belajar bersama Nindya. Hanya Gagih yang sering iseng mengganggu kakak-kakaknya. Menemani anak belajar memang sudah menjadi porsi Nindya. Anak-anak juga tidak mau lama-lama belajar bersamaku. Abi galak, kata mereka.

Hampir sembilan tahun aku menikahi Nindya. Aku tahu, ia sering menangis diam-diam, tetapi aku tetap tidak mengerti mengapa. Apakah tangis selalu menandakan ketidakbahagiaan? Apakah semua perempuan seperti itu? Atau hanya perempuan yang seniman seperti Nindya?



Lihat selengkapnya