Perempuan Suamiku

Noura Publishing
Chapter #3

Perempuan Suamiku

Gundukan tanah itu masih merah dan basah, lengkap dengan gunungan mawar yang terpotong bercampur kenanga dan sedikit melati. Harum bunga-bunga bercampur wangi khas kamboja. Ada seseorang yang terkasih berbaring diam pada tanah yang lembab, wajahnya sunyi dengan pejam yang abadi. Ia berbaring miring menghadap kiblat dengan punggung bersandar papan kayu dan berbantal bola tanah yang merah. Ia suamiku. Seseorang yang bertahun-tahun mendampingiku dalam suka, bahagia, duka, dan lara. Membesarkan ketiga anak kami hingga mereka sarjana, bahkan ada dua yang lulusan luar negeri. Kebahagiaan duniawi terpampang menyesakkan dada, melambungkan nama orangtua seperti kami.

Aku sudah merelakan Wijaya pergi. Wijaya, nama suamiku. Seseorang yang sukses dalam bisnisnya, sekaligus sukses—insya Allah—dalam ukhrawinya. Ia memiliki pabrik tekstil nomor dua terbesar di kota kami. Ia juga mengelola pesantren yang memiliki santri berjumlah ribuan. Abdullah Wijaya adalah ayah yang sempurna, hampir tanpa cacat. Ia ikut mendidik anak-anak dengan pola didik dan motivasi yang tinggi. Ia juga mendukungku untuk sekolah lagi ke luar negeri, lalu meneruskan doktoral di UI. Meski pada awalnya, aku begitu sulit menyakinkan ia bahwa aku akan bisa membagi waktu untuk karier dan keluarga.

Wijaya memang sempurna. Kecuali setelah hari ini, kematian menjemputnya dalam diabetes akut. Kutemui seorang perempuan tak kukenal dengan kerudung dan kain yang begitu sederhana, tergugu pada ujung kuburnya. Matanya memerah sembab karena air mata yang tak kunjung henti membasahi pipinya hingga membekas pada kerudungnya.

Siapa?

“Maaf … siapakah Anda?” tanyaku ketika seluruh takziyin telah pergi kecuali anak-anak laki-lakiku.

Perempuan itu mendongakkan kepala sehingga matanya tepat menghunjam mataku. Sejenak kami bertukar energi yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata. Kemudian, aku yang terkalahkan sebab mata perempuan itu begitu tulus. Kualihkan pandanganku pada kamboja yang berderai, sebab angin memutar batang bunganya, kemudian membuatnya terapung indah sebelum teronggok pada tanah pekuburan yang dingin.

“Saya … saya … Sholihah, Bu. Saya ….”

Perempuan itu kembali tergugu. Jemarinya meraup tanah pekuburan suamiku, seperti merasa begitu kehilangan. Hatiku tergetar. Ada rasa aneh menjalari tepi-tepinya, kemudian menghunjam tiada tara. Tetapi aku perempuan, aku tidak biasa dengan prasangka. Maka kuhela napas dalam-dalam dan sedikit mendongakkan dagu, menata kembali perasaanku yang tiba-tiba merasa lemah.

“Apakah Anda kerabat suami saya?”

Perempuan itu terdiam.

“Atau, Anda adiknya yang tidak pernah diperkenalkan pada saya barangkali?” desakku tak sabar. Ketiga anak laki-lakiku telah berkumpul di samping kanan-kiriku. Ketiganya ikut bertanya-tanya walau hanya melalui pandangan mata.

“Saya … saya … istri Pak Wijaya,” kata-kata lirih, hampir tak terdengar.

“Hah …?”

Kata-kata lirih itu seperti petir menggelegar pada hujan lebat yang menyambar-nyambar. Tubuhku yang gigil sebab kematian Wijaya suamiku, terasa makin lemas. Kakiku seperti kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhku. Ada kegelapan yang tiba-tiba menyergap dari segala penjuru.

“Mamah.”

Teriakan si Bungsu yang terakhir kudengar sebelum semuanya gelap.



Ketika perlahan kegelapan tersingkap pada pandang mataku, rintik ungu bercampur keemasan sirna meninggalkan rasa pusing yang teramat nyeri. Maka segera kupalingkan pandang mataku pada arah yang lebih terang. Jendela. Di sana, kutemui pemandangan yang menyejukkan, sepotong pelangi tumbuh pada sudut jendela, lengkungannya membawa damai pada hatiku yang sesak.

“Bu,” panggil seseorang di ujung ranjang tempatku berbaring.

Lihat selengkapnya