Perempuan Sunyi

Bait Noor
Chapter #2

Napas Kehidupan

2

Napas Kehidupan

 

Bumi Serpong Damai (BSD) memberiku ruang untuk bernapas. Terlepas dari teriakan Bapak membuatku bisa menghirup udara bebas. Kuinjak pedal gas dan terus melaju di jalan kecamatan. Meninggalkan Bapak di kampung halaman, aku kembali ke kota perantauan.

Sesungguhnya, desaku tak jauh dari BSD kota Tangerang Selatan. Hanya berjarak sekitar dua puluh dua kilometer, perjalanan ke BSD bisa kutempuh dalam waktu satu jam. Akan tetapi, jalan yang harus dilalui tidaklah semulus di kota. Banyak lubang dan jalanan rusak sepanjang perjalanan.

Mobilku melaju dengan pelan. Melewati jembatan Gerendong yang dibangun di atas aliran sungai Cisadane, kulintasi perkebunan karet di sepanjang jalan tanjakan daerah perbatasan kecamatan Rumpin dan Ciseeng. Truk-truk pasir dan batu kali melintas mengepulkan asap hitam dan pekat. Debu-debu beterbangan menempel di kaca mobil depan. Meskipun Rumpin memiliki potensi pertanian dan tempat wisata, banyak orang mengenal Rumpin sebagai daerah penghasil tambang galian berupa pasir dan batu-batuan. Setiap hari truk-truk pengangkut sumber daya alam itu melintas di jalanan. Tak jarang terjadi kecelakaan karena kelebihan muatan.

Mataku nanar melihat ke depan. Perasaan sunyi menelusup ke dalam hatiku. Mengingat kembali teriakan Bapak yang kasar, hatiku menjadi gusar. Meskipun begitu, aku tidak boleh menyerah. Menikah dengan laki-laki pilihan Bapak tidak akan menyelesaikan masalah.

Bapak yang kukenal tak pernah berubah; seorang laki-laki yang selalu diliputi amarah. Masih tak kumengerti apa yang menjadi jalan pikirannya. Yang kuketahui darinya, apa yang menjadi keinginan Bapak, harus selalu dipenuhi oleh anak-anaknya.

Aku menyadari bahwa aku hanya seorang perempuan yang berasal dari kampung. Ketika Bapak sudah tidak mampu membiayai pendidikanku, seharusnya mungkin aku menuruti keinginan Bapak untuk menikah. Akan tetapi, aku selalu bermimpi untuk bisa menempuh pendidikan tinggi. Bukan dengan pernikahan, pendidikan tinggi akan memberiku harapan untuk bisa membantu Bapak untuk kembali bangkit membangun kembali perekonomian yang kuat bagi keluarga.

Pada awalnya, Bapak menyetujui keinginanku untuk bekerja. Akan tetapi, Bapak selalu menawarkan perjodohan dengan laki-laki yang membuatnya terbantu secara keuangan. Menurutnya, tak perlu perempuan mati-matian mencari uang, asalkan mau dinikahkan dengan laki-laki mapan, perempuan bisa mendapatkan kebahagiaan.

Bapak tidak pernah memberiku pilihan. Di pikiran Bapak, pernikahan selalu menjadi jalan keluar dari segala kesusahan. Bapak selalu menginginkan aku menikah dengan laki-laki mapan yang menurutnya bisa diandalkan. Berulang kali, Bapak mengatakan bahwa ia merasa malu memiliki anak perempuan yang masih perawan.

Bapak selalu membanggakan Teh Lia, saudara kandungku yang menikah di usia muda. Selepas kuliah, Teh Lia dengan mudahnya mendapatkan jodoh pillihannya sendiri yang tak lain teman kampusnya sendiri. Sementara itu, aku masih belum bisa melanjutkan kuliah karena usaha Bapak telah hancur karena Bapak menikah lagi. Bahkan, Bapak tidak segan-segan mejodohkanku dengan laki-laki yang sudah beristri. Asalkan laki-laki itu kaya dalam pandangan Bapak, aku selalu dipaksanya menerima perjodohan.

Otot-otot di wajahku barangkali tampak tegang. Aku masih belum menerima keadaan. Kenapa Bapak selalu menjodohkanku dengan laki-laki pilihannya? Rasa-rasanya aku semakin tidak bisa memercayai Bapak. Aku tidak pernah ingin menerima siapa pun laki-laki yang menjadi pilihan Bapak.

TEEET TEEET TEEET

Bunyi klakson mobil di belakang membuyarkan lamunanku. Kutancap gas dengan cepat karena ternyata lampu hijau telah menyala. Tak bisa bersantai-santai membawa kendaraan seperti di jalan kecamatan, aku telah memasuki jalanan kota menuju tempat tinggalku di BSD.

BRUKKK!!!

Seorang laki-laki mengeluarkan kepalanya melalui jendela. Matanya melotot tertuju kepadaku. Tangannya memberi isyarat agar aku menepikan mobil dan berbicara dengannya.

Kuhela napas dengan lemas. Untuk pertama kalinya mobilku menyerempet mobil lain di jalanan. Pikiranku memang sedang tak karuan.

Lihat selengkapnya