3
Kejutan
Kupandangi layar laptop di meja kerja. Duduk dalam sebuah kubikal di dalam ruangan tanpa merasakan sinar matahari. Terkurung dalam gedung bertingkat yang tidak kudapati di kampung halaman. Menjalani hidup di perkotaan ada nuansa yang berbeda. Hening yang kudapati bukan tentang suara hati yang mendengar nyanyian burung di setiap pagi. Nyanyian yang kudengar adalah bunyi klakson mobil atau motor yang terburu-buru mengejar waktu datang ke kantor.
Aku masih terdiam dan berdiri dekat jendela. Dari lantai empat, kuperhatikan orang-orang berjalan, kendaraan berlalu lalang, dan semua yang tampak hidup dan bergerak dari suatu ketinggian. Selalu ada pertanyaan yang muncul di kepala tentang orang-orang yang menghabiskan waktu bekerja seharian; meninggalkan rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dengan pekerjaan yang seolah tak pernah ada habisnya.
Aku masih teringat kejadian beberapa hari yang lalu bersama Bapak. Ketika aku menolak pernikahan yang diinginkannya, sesungguhnya aku tidak memiliki tujuan selain kembali bekerja dan terus memelihara impian. Aku tidak pernah ingin bergantung kepada laki-laki. Aku ingin menjadi perempuan yang mampu mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi segala kondisi.
Masih kupandangi pemandangan di luar jendela. Dibatasi kaca lebar yang tak tembus pandang, orang-orang di luar sana tak akan mampu melihat seorang perempuan sedang berdiri dan melamun sendirian.
“Sal!”
Kudengar suara perempuan memanggil namaku. Perempuan itu adalah Monik sahabatku di kantor. Suara perempuan bertubuh subur itu membuyarkan lamunanku.
“Gue cari-cari, malah bengong di sini!”
Monik menyodorkan es kopi kepadaku. Di tangannya ada coklat dan keripik kentang yang selalu dia bawa kemana-mana.
“Lo, nggak makan?” tanya Monik yang kebetulan tidak bersamaan pada saat makan siang di pantry. Di gedung ini, ada ruang yang menyerupai taman. Ketika penat melanda, berdiri melamun sendiran dekat jendela membuatku bisa bernapas dengan lega.
“Udah.” jawabku singkat. Tenggorokanku tercekat. Aku kehilangan selera untuk mengeluarkan banyak kata-kata.
“Makan apa?” tanya Monik lebih detail. Rambutnya ikal dan bergelombang. Jika rambutnya tak diikat, pipi tembamnya akan semakin mengembang dan terlihat sangat besar. Untungnya, wajah Monik sangat cantik. Bola matanya besar dan bulu matanya begitu lentik. Pembawaannya yang ceria membuat suasana hatiku terasa hidup.
“Roti.”
“Roti terus! Makan nasi, sana!” ujar Monik dengan tegas.
Aku menggelengkan kepala. Lantas Monik mengajakku duduk di sebuah tangga dekat jendela. Seperti biasa, Monik selalu menjadi teman bicara.
“Lo berantem lagi sama bokap?”
Monik menyodorkan potongan coklat kepadaku. Juga keripik kentang yang dibawanya ia buka dan tawarkan kepadaku.
“Makan, nih, coklat! Biar perasaan, lo, enak!””
Kuikuti perintah Monik tanpa bantahan. Ia yang selalu mengingatkan tentang makanan yang terkadang aku abaikan meski perutku terasa keroncongan.
“Berantem, sih, nggak. Cuma, gue capek aja ngadepin Bapak yang selalu marah dan terus-terusan jodohin gue sama cowok-cowok yang gue nggak kenal ....”
“Ya elu, kenalan dulu aja, siapa tahu lo cocok sama cowok itu.”
“Masalahnya, Bapak orangnya suka nggak mau pelan-pelan. Dia pengennya buru-buru dan ujung-ujungnya maksa!”