Perempuan Sunyi

Bait Noor
Chapter #4

#4 Manusia Tak Berjiwa

4

Manusia Tak Berjiwa

 

Apakah menjadi perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan pilihan? Apakah menjadi perempuan yang melajang adalah sebuah kesalahan? Menjadi perempuan, tak bolehkah mengambil keputusan?

Kukira, aku telah menjadi perempuan yang mandiri. Segala pikiran dan keyakinan kutanamkan dalam diri agar tidak bergantung kepada laki-laki. Akan tetapi, hari ini Bapak telah merenggut harga diriku; merenggut kebebasanku.

Aku seperti manusia tak berjiwa. Aku hanya seonggok raga yang bisa dipindahkan kepemilikannya kepada siapa saja yang diinginkan Bapak. Segala ilmu dan pengalaman hidup yang kumiliki seolah hilang sirna tak bersisa.

“Halo!”

Darahku mendidih. Aku tidak mampu menunggu sampai besok pagi untuk bicara dengan laki-laki yang telah dinikahkan denganku. Sementara itu, Bapak tidak menjawab panggilan telepon dariku.

Laki-laki itu mengangkat teleponnya. Akan tetapi, tak ada suara yang terdengar olehku.

“Siapa kamu, berani-beraninya masuk ke dalam kehidupan saya?!”

Emosiku bergejolak di dalam dada. Di rumah Teh Lia, aku mencoba bicara dengan laki-laki yang telah dinikahkan denganku.

“Tanya, Bapak kamu!”

Laki-laki itu menjawab. Nada suaranya tinggi dan terdenga sinis. Bagaimana bisa laki-laki itu mengucapkan kata-kata dengan nada seperti itu.

           “APA?! Kamu sudah berbuat zolim kepada saya! Memangnya saya pernah ketemu kamu?!” balasku dengan nada yang lebih sinis.

Waktu menunjukan pukul dua belas malam. Dari nada dan intonasi suaranya, laki-laki itu sama sekali tak menunjukkan niat baiknya kepadaku. Laki-laki menunjukkan amarah kepadaku.

“Jangan tanya saya! Tanya, Bapak kamu!!!” ucap laki-laki itu dengan keras.

 “Kenapa kamu mau dinikahkan dengan orang yang tidak mau sama kamu?! Tujuan kamu apa, menikahi saya diam-diam seperti ini?! Pernikahan ini tidak sah!!!”

Telepon terputus. Laki-laki itu menutup teleponnya. Tak terdengar lagi kata-kata kasar dengan nada sinisnya. Kucoba melakukan panggilan lagi, laki-laki itu telah menonaktifkan ponselnya.

Aku terdiam dalam keheningan malam yang mencekam. Dari cara bicara dan intonasi suaranya, laki-laki itu seperti Bapak; dipenuhi pemarah dan suka memaksa.

Teh Lia menghampiriku. Ia memintaku untuk beristirahat dan tidur. Besok pagi aku masih harus tetap bekerja. Aku tidak ingin terganggu karena permasalahan ini.

Lihat selengkapnya