Chapter 5
Teman Kencan
Satria menungguku di depan kosan. Laki-laki itu duduk di atas vesvanya yang terparkir di depan pintu gerbang. Seperti biasa, selepas kerja, ia mengajakku berkeliling di Taman Jajan. Tidak hanya menjadi teman bicara, Satria juga menjadi teman makan. Seperti berkencan, setiap hari aku dan Satria jalan bersama,
Satria mengemudikan vesvanya dengan pelan. Tak seperti hari-hari biasanya, perasaanku menjadi asing duduk di belakang dibonceng oleh Satria.
“Diem aja. Mau makan apa, kita?”
Satria mengajakku bicara. Nada suaranya yang hangat membuatku selalu merasa nyaman berada di dekatnya. Satria selalu menjadi orang yang membuatku tidak pernah merasa sendirian. Meskipun tidak memiliki hubungan pacaran, sejak ia tinggal di kostan laki-laki yang bersebelahan dengan rumah kostan yang kutinggali, sejak saat itu Satria selalu menjadi teman kencan bagiku.
Aku masih terdiam. Tak ada keinginan untukku menyantap makanan. Ingin rasanya kusandarkan kepalaku di punggung Satria. Kepalaku terasa begitu berat menanggung segala beban pikiran.
“Sal? Saliha ....”
Satria menyebut namaku. Suaranya terasa lembut menyentuh telingaku. Tidak seperti suara laki-laki yang telah dinikahkan denganku, suara Satria selalu membuatku merasa aman ketika sedang bersamanya.
“Mau makan apa? Kita mau kemana?”
Aku tak bersandar. Kepalaku yang berat ini masih kutopang sekuat diri tanpa bantuan laki-laki. Bahkan kepada seorang Satria.
“Dari tadi, lo diem aja. Ada masalah?”
Satria masih mengemudikan vespanya dengan pelan. Barangkali wajahnya kebngungan karena aku tak sedikit pun bersuara ataupun menjawab pertanyaannya. Aku masih duduk tegap memandangi punggung Satria yang tak mungkin menjadi tempat bersandarku.
Kupandangi rumah-rumah disepanjang perjalanan ini. Perumahan tempat dimana kalangan masyarakat sosial menengah ke atas ini, membuatku merasakan kerinduan memiliki rumah tempat aku pulang. Aku ingin memiliki tempat dimana aku bisa menceritakan tentang segala keluh kesah menjalani kehidupan melajang tanpa dukungan. Sikap dan kata-kata Bapak yang selalu menyudutkan, selalu menguundang rasa cemas dan gelisah dalam relung batinku yang terdalam. Perasaan takut menjalani hidup sendirian mulai merambati perasaanku.
Motor Satria berhenti. Satria tiba-tiba menolahkan kepalanya kepadaku. Dilihatnya wajahku yang pilu dengan perasaan yang lesu.
“Lo, ada masalah?”
Kupandangi wajah Satria yang membuatku selalu merasakan getaran. Wajah yang selalu memberikan keteduhan dalam hatiku semakin membuat gusar perasaanku.
“Kalau ada masalah, cerita aja. Gue siap dengerin cerita, lo ....”
Mulutku tertahan. Aku tak mampu menceritakan persoalan pernikahan yang telah dipaksakan kepadaku. Aku tidak ingin melihat sikap Satria menjadi berubah kepadaku.