Chapter 6
Anak Perempuan
Anak perempuan itu bernama Saliha; Nama yang diberikan Bapak kepadaku; Nama yang berisikan doa agar aku menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.
Apakah menerima pernikahan itu adalah jalan untuk berbakti kepada Bapak?
Kuhela napas dengan berat. Mataku telah sembab karena menangis hampir sepanjang malam teringatkan suara laki-laki yang telah dinikahkan denganku. Suara kasarnya masih terngiang-ngiang di telingaku.
Pagi ini aku tidak ingin pergi ke kantor. Segera kukirimkan pesan kepada Bang Richard tentang kondisiku yang tidak memungkinkan untuk bekerja. Badanku meriang. Bukan karena membutuhkan kasih sayang, yang kubutuhkan adalah sebuah pelarian dimana aku ingin menghilang. Jalan pikiran dan perasaan yang kumiliki sekarang, terus membawaku kepada penderitaan..
Apa yang harus aku lakukan? Diriku yang seorang telah berpindah kepemilikan dari Bapak yang selalu menuntutku dengan segala keinginannya, kepada laki-laki yang juga tak memberiku perasaan aman dan tenteram. Bukankah seharusnya pernikahan mendatangkan kebahagiaan?
Sebagai anak perempuan aku selalu membutuhkan sosok yang memberiku perlindungan. Akan tetapi, sosok Bapak tak pernah ada untukku. Ia tidak pernah hadir dalam setiap persoalan yang kualami dalam menjalani kehidupan. Bahkan, sosoknya selalu menjadi ancaman yang setiap saat mengundang ketakutan yang membuat jiwaku terguncang. Hingga di satu titik, lima tahun yang lalu aku mengidap depresi.
“Apa yang Anda rasakan?”
Dokter Martin membuka sesi konsultasi pertamaku dengan bertanya tentang bagaimana perasaanku. Dokter kejiwaan yang membuka praktek secara mandiri di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi ini mulai melakukan diagnosa terhadap kondisi kejiwaanku.
“Saya ingin mati!”
Saat itu, kata-kata itu terus membayang-bayangi pikiranku. Mendapatkan kekacauan pada kehidupan yang kujalani membuatku tidak ingin menjalani hidup lagi. Usiaku memasuki kepala tiga. Beban pikiran dan perasaan mulai menggoyahkan segala keyakinan. Bahkan kepada Tuhan.
“Apakah Anda pernah melakukan tindakan yang menyakiti diri sendiri?”
Dokter Martin melanjutkan pertanyaannya. Raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang membuatku merasa terintimidasi. Suaranya lembut dan membeikan ketenangan.
“Pernah.”
“Tindakan seperti apa yang sudah Anda lakukan?” lanjut dokter Martin menganalisa kejadian yang menimpaku.
“Membenturkan kepala ke tembok.” jawabku dengan jujur.
Aku tak meneteskan air mata. Jiwaku yang hampa membawa perasaan sunyi yang membuat hidupku terasa gelap gulita..
“Bagaimana rasanya? Apakah tindakan itu terus berulang?”
“Tidak. Hanya ketika saya sudah tidak mampu menahan emosi dan berpikir ingin mati.”