Chapter 8
Nyanyian Sunyi
Nyanyian sunyi menyayat isi hati. Menimbulkan rasa perih yang menggerogoti kepercayaan diri. Belenggu yang Bapak ikatkan kepadaku ingin segera kulepaskan. Aku ingin kembali bebas.
Mataku tak mampu terpejam. Bersama kesunyian malam, rintihan hujan membawa perasaan semakin mencekam. Adakah kekuatan yang membuatku untuk bisa terus berjuang?
Kesunyian yang bertalu-talu terus mendendangkan perasaan pilu. Bapak, masih belum bisa kuhubungi sampai sekarang. Aku pun tak ingin pulang; menjalani kehidupan sendirian, tanpa siapa pun yang bisa kuandalkan.
Tak ada satu pun kenangan indah yang terekam dalam memori ingatan. Semua hal tentang Bapak adalah nyanyian sunyi yang terus menggema di dalam hati. Bapak tidak pernah mau mengerti. Bapak hanya ingin memenangkan egonya sendiri.
“Saliha anak yang pintar, rajin belajar. Nilai ujiannya bagus. Saliha bisa menjadi anak yang sukses dan mandiri.”
Mata Ibu berkaca-kaca. Sementara itu, wali kelasku di SMA tersenyum lebar menyampaikan prestasiku menduduki rangking satu.
“Saliha harus melanjutkan pendidikan. Saya yakin Saliha bisa menjadi anak yang membanggakan orang tua.”
Ibu mengusap kepalaku. Ia memelukku dan mengucap rasa syukur karena mendengar kata-kata yang baik tentang hasil belajarku. Akan tetapi, sebelumnya Ibu sudah menyampaikan tentang usaha Bapak yang mengalami kebangkrutan. Kios di Jakarta, tempat Bapak menjalani usahanya sebagai “Juragan Buah”, mengalami kebakaran. Seluruh lapak milik Bapak hancur tak bersisa. Sementara itu, uang tabungan Bapak telah habis karena Bapak sering bermain perempuan dan terlibat hutang piutang.
Ibu terisak mendapati anak perempuannya tidak bisa melanjutkan pendidikan.
Ibu selalu mengajarkan anak-anak perempuannya untuk menempuh pendidikan yang tinggi. Ia berhasil menyekolahkan Teh Lia menjadi Sarjana Ekonomi meski Bapak tidak pernah menyetujui. Teh Lia berhasil membangun kehidupannya sendiri setelah menikah dengan Kang Rasyid. Sementara itu, Bapak selalu menghambur-hamburkan uang demi memuaskan egonya untuk menjadi seorang ‘Juragan’ yang dieluk-elukkan banyak orang. Bapak selalu haus penghormatan. Akan tetapi, penghormatan itu selalu dibelinya dengan uang, bukan kepercayaan.
Selama ini, Ibu selalu bertahan menjalani pernikahan meskipun Bapak tak berhenti membuat keributan. Bapak selalu berurusan dengan preman-preman yang membantunya menyelesaikan persoalan. Hanya uang dan kekerasan yang menjadi andalan. Tak ada sedikit pun Bapak memercayai ilmu pendidikan. Sebaliknya, Ibu berjuang membekali ketiga anak perempuannya dengan ilmu pengetahuan. Ibu rela bertengkar dengan Bapak untuk selalu menyelamatkan anak-anak perempuannya diperjualbelikan dalam pernikahan seperti yang Bapak lakukan ketika pertama kali Bapak membujuk Abah, orang tua dari Ibu, memaksanya berhenti sekolah untuk menikah dengan Bapak.
Ibu semakin terisak. Di sudut sekolah setelah menerima buku laporan belajarku, ia masih mengusap-usap kepalaku dan berulang kali meminta maaf karena tidak mampu membiayai pendidikanku di perguruan tinggi. Tidak seperti Teh Lia yang telah berhasil menjadi Sarjana, Ibu masih menyesali diri karena uang tabungan Ibu telah dipergunakan Bapak untuk membayar hutang-hutangnya kepada para rentenir yang memberinya pinjaman.