Chapter 9
Melepas Beban
Kupeluk diri dalam kesunyian hati menangisi nasib yang membuatku merasa terzalimi. Masih kudapati jalan buntu yang membuatku tidak mampu melihat cahaya. Duniaku masih gelap gulita.
Satria datang dan menunggu di pintu gerbang. Tak ada yang ingin kubicarakan dengannya. Hanya saja, Satria menuntut penjelasan. Sejak aku memutuskan sambungan telepon terakhir kali berbicara dengannya, sejak saat itu tak ada lagi pertemuan atau pun pembicaraan.
Satria berjalan membawaku ke taman. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran karena berhari-hari aku tak kunjung memberinya pesan. Laki-laki yang membuatku selalu merasakan getaran ini selalu memberikan kehangatan. Bukan pelukan yang selalu ingin kulakukan ketika aku duduk di belakang sepeda motornya, melainkan cara Satria mengajakku bicara dan segala bentuk perhatian yang selalu ia tunjukkan kepadaku.
“Udah makan?”
Satria berkata pelan. Tak seperti biasanya, wajah Satria tampak muram. Di bawah sinar lampu yang temaram. Satria membawaku duduk di sebuah bangku di taman.
Malam ini, suasana hatiku masih belum membaik. Beban pikiran yang masih memberati kepalaku juga membuatku ingin menyimpan semua kata-kata di dalam hati saja.
“Lo ada masalah apa? Kata Bang Richard lo cuti?”