Chapter 10
Perjalanan Hati
Keriuhan menimbukan huru hara di kepalaku. Suara-suara bising mengajakku bicara menceritakan segala keresahan yang melanda jiwaku. Berkecamuk perasaan dipenuhi luka pemaksaan yang dilakukan Bapak terhadapku.
Tak pernah terpikirkan, Bapak akan mengambil langkah untuk menikahkanku dengan jalan memaksa. Logikaku masih belum memercayai pernikahan yang mengharuskanku menjalani peran sebagai seorang istri.
Bagaimana bisa Bapak menjadikan pernikahan yang kuimpikan sebagai momen yang paling membahagiakan menjadi momen yang paling menakutkan yang pernah terjadi sepanjang perjalanan usiaku.
Hukum Islam mana yang Bapak gunakan sebagai landasan dari perbuatannya yang membuatku meradang kesakitan?
Suara deru roda kereta api mengirirgi perjalanan hatiku. Gedung perkantoran, rumah-rumah penduduk hingga pepohonan melintas dari pandangan. Aku masih belum melihat cahaya yang akan menerangi jalanku. Pandanganku masih tak tentu arah menemukan jalan keluar yang membuatku terbebas dari kegelisahan yang menggelayuti perasaan.
Aku telah kehilangan harapan. Sudah tidak ada lagi impian yang membuatku bersemangat menjalani kehidupan. Meskipun tak terlintas keinginan untuk mati seperti lima tahun yang lalu ketika aku mengidap depresi, mata batinku kehilangan pandangan untuk melihat masa depan.
Kereta melaju dengan kencang. Selepas kulaksanakan sholat magrib di stasiun Rawa Buntu yang tak jauh dari kost-an, kumulai perjalanan ini sendirian.
“Mau kemana, Mbak?”
Seorang Ibu setengah baya bertanya kepadaku. Ia duduk bersebelahan denganku. Dari penampilannya, sepertinya ia baru pulang kerja.
“Rangkasbitung. Ibu mau kemana?” tanyaku bertanya balik. Sedikit mencairkan suasana hatiku, kujalin percakapan ringan dengan orang lain yang kutemui dalam perjalanan.
“Serpong ....”
“Oh, bentar lagi turun, ya Bu?”
“Iya,” jawab si Ibu dengan pakaian kantor yang rapih. Rambutnya sebahu dan raut wajahnya terlihat sayu. Kuperkirakan ia adalah pekerja yang berkantor di Jakarta. Meski usianya terlihat sudah setengah baya, ia terlihat mandiri dan sigap. Segera, ia bersiap-siap untuk turun di Stasiun selanjutnya.
“Saya duluan, ya, Mbak ....”
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Kuperhatikan Ibu setengah baya itu berjalan cepat setelah turun dari kereta. Langkahnya berlalu seiring deru suara kereta kembali mengiringi perjalananku.
Aku terdiam. Kukenakan masker agar tak lagi mendapati percakapan di perjalanan.
Kupejamkan mata dan sedikit mengistirahatkan pikiran. Meskipun begitu, tetap saja pikiran-pikiran itu melayang di kepalaku. Melintas berbagai kenangan yang menyibukkan pikiranku.
Kuhela napas panjang dan dalam. Kubuka mata dan kuperhatikan bangku-bangku di dalam kereta yang mulai kosong. Banyak penumpang yang turun di Stasiun Serpong. Perjalanan ini kembali membuatku merasa sendirian.
Aku mengarahkan pandangan ke luar jendela. Gelap dan terang melintas dalam pandangan. Kegelapan malam yang sesekali mendapatkan pencahayaan dari lampu-lampu yang dipasang, menambah suasana hatiku kembali menjadi sunyi.
Selanjutnya kunaiki kereta lokal antar kota jurusan Rangkasbitung-Merak pada pukul delapan malam. Pikiranku masih tak tentu arah tujuan. Sementara itu, hatiku masih terselimuti perasaan sunyi yang menyayat hati.
Ada berbagai macam pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Di usiaku yang sudah tiga puluh lima tahun ini, apakah kesendirianku harus benar-benar disudahi?
Kuingat kembali kenangan masa lalu yang penuh perjuangan. Meskipun terus menjalani hidup dipenuhi oleh kegelisahan, aku tidak pernah merasa kehilangan harapan. Akan tetapi, di titik ini, aku merasa hidupku telah hancur berantakan.
Masih kurasakan kegelapan dalam pandanganku melihat masa depan. Pernikahan yang telah terjadi kepadaku, apakah menjadi solusi bagi kesendirianku?
Semua masih terlihat abu-abu. Gelap dan terang masih menyelimuti perjalanan hatiku.
Aku ingin menyendiri. Kupejamkan kembali mataku yang sesungguhnya tak ingin terpejam. Aku berpura-pura tidur di kereta; berpura-pura sejenak melupakan segala peristiwa yang telah menimpa hidupku.
Kamu harus pulang!