Chapter 11
Bukan Boneka
Semilir angin menerpa wajahku. Membawa rasa sejuk ke dalam hatiku. Meskipun begitu, keriuhan di kepalaku masih menimbulkan rasa gelisah yang tak menentu. Jiwaku masih terasa sunyi. Seperti tak melihat apa pun di sini, pandanganku menatap dengan mata yang kosong. Seperti hanya ada lautan dan bebatuan di mana aku duduk sekarang. Sendirian.
Semesta membentangkan kekuasaan Tuhan. Aku merasakan udara bebas meski jiwaku masih terikat dengan kesunyian yang membuatku selalu merasa sepi. Aku hanya ingin mengosongkan pikiran; mengendalikan perasaan yang diliputi segala keresahan; keresahan yang mencari jawaban. Juga kemarahan yang ingin kuluapkan.
Sejak mendengar kabar pernikahan itu, Bapak menghilang tanpa kabar. Nomor ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku pun tak ingin menemui Bapak yang membuatku selalu dihantui perasaan tak menentu. Biarlah aku menjaga jarak dan tak lagi menjalin komunikasi dengan Bapak.
Hasrat Bapak telah terpenuhi. Setelah dia berhasil menikahkan aku dengan laki-laki pilihannya, Bapak melepaskan diri begitu saja. Tak bisa dihubungi, apalagi diajak bicara. Hanya laki-laki itu yang masih saja mencoba mengajakku bicara. Hanya saja, pembicaraan itu hanya sebuah tuntutan agar aku melaksanakan kewajiban. Laki-laki memaksaku menjalani peran istri karena ia merasa telah memilikiku karena telah terikat oleh pernikahan. Akan tetapi, Laki-laki yang bernama Ridwan itu hanya berani mengirim pesan, tak sekali pun ia memiliki keberanian datang menghadapku untuk melakukan tuntutan.
Bukan begini, cara perempuan dipaksa menjalani peran sebagai istri melalui pernikahan. Bukan begini, Bapak menyerahkan anak perempuannya tanpa meminta persetujuan. Aku bukan boneka. Aku bukan benda yang tak memiliki pikiran dan perasaan.
Kupandangi lautan yang terlihat tenang. Orang-orang tierlihat bersuka cita menikmati liburan. Sementara itu, aku hanya duduk sendirian menatap lautan diliputi segala lamunan.
Mengapa Bapak tidak pernah memikirkan perasaanku. Mengapa Bapak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Bapak memang orang tuaku, tetapi Bapak tidak berhak mengambil kebebasanku dengan cara mencurangiku seperti ini. Bagaimana bisa aku memercayai hidupku kepada Bapak yang bertindak sesuka hatinya?
Pergulatan batin membutku terus menghela napas dengan berat. Pikiranku bergerak ke kanan, ke kiri, ke atas, dan ke bawah. Tak tentu arah. Pikiranku terobang ambing dalam segala keriuhan yang membuatku merasa bimbang mengambil keputusan. Hati kecilku terus menolak untuk menyerahkan diri kepada laki-laki yang membuat menyebut namanya saja membuat bulu kudukku merinding dan merasakan ketakutan. Aku tidak sanggup menerima kenyataan.
Aku masih terduduk di sebuah batu di tepi pantai. Kulihat matahari bersinar dengan terang. Cahayanya memberiku sedikit kehangatan.
“Gimana Sal, udah nyampe pantai?”
Sebuah pesan masuk dari Monik. Ia satu-satunya sahabat yang kuberitahu tentang perjalananku ke Anyer. Monik memantau perjalananku di tengah kesibukannya menjalani rutinitas di kantor.
“Udah,” jawabku singkat.
“Bae-bae, ya, di sana. Jernihin pikiran sebelum lo ngambil keputusan,” ucap Monik memberi arahan. Ia selalu memberiku dukungan. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Dibawa santai aja. Jangan terlalu dianggap beban!” seru Monik menambahkan
Monik benar. Apa pun kondisi yang kuhadapi, aku harus tetap tenang dan rileks. Ketegangan di pikiranku jangan sampai membuatku salah dalam mengambil keputusan. Bagiku, pernikahan bukan sesuatu yang mudah kuterima begitu saja.
Aku memang sangat selektif memilih laki-laki yang akan menjadi pasanngan. Tidak bisa sembarang orang. Apalagi laki-laki yang tak pernah kukenal sama sekali.Apalagi laki-laki itu menggunakan kekerasan.