Chapter 12
Pertukaran Pikiran
“Apa yang bisa Om bantu, Saliha?”
Om Ilham duduk di kursi utama ruang tamu yang berada di bawah tangga. Ruang yang lapang dan luas tanpa banyak perobotan ini membawa suasana menjadi tenang. Jauh dari keributan, rumah ini memberikan kenyamanan.
Seingatku kursi tamu di ruang ini masih tampak sama. Berasal dari kayu jati yang mampu bertahan lama. Warnanya tidak memudar dan hampir tidak ada perubahan sama sekali. Lantai dan dinding yang dilapisi marmer, membuat rumah Om Ilham tampak mewah dan megah. Dari hasil kerja kerasnya, Om Ilham berhasil membangun rumahnya di atas tanah seluas satu hektar. Terdapat kolam renang di belakang rumah, juga taman dan kebun mini dan binatang peliharaan.
Om Ilham telah membuktikan diri menjadi pengusaha tambang yang sukses. Adik laki-laki Ibu satu-satunya ini hidup berkelimpahan. Meskipun begitu, Om Ilham tidak pernah memamerkan harta kekayaannya kepada semua orang. Ia hidup dalam kesahajaan.
“Saliha butuh pandangan Om,” ucapku dengan pelan. Aku merasa lemah mengungkapkan segala perasaan. Meski begitu, aku membutuhkan pertukanan pikiran.
“Tentang apa?” tanya Om Ilham dengan sigap. Ia duduk tegap dan tampak serius menanggapi ucapanku. Meja panjang yang membatasi jarak duduk antara aku dan Om Ilham seperti memberi batasan untuk mengungkapakan segala cerita.
“Cerita saja. Om mau dengar cerita Saliha.”
Hatiku merasa lega. Pemikiran Om Ilham sangat terbuka. Meskipun sudah lama aku tak berkomunikasi dengannya. Om Ilham masih menunjukkan perhatiannya kepadaku. Ia satu-satunya adik Ibu yang berhasil membangun keluarganya dengan utuh dan harmonis. Tak hanya itu, Om Ilham juga diberikan kelmapahan rezeki yang membuatnya menjadi salah satu orang yang dikenal kaya dan terpandang di kampung halaman istrinya Tante Fatimah.
“Menurut Om, pernikahan Saliha yang dilakukan Bapak secara sepihak, sah atau tidak?” tanyaku langsung to the poin kepada Om Ilham. Sebelumnya, Om Ilham telah mendengar cerita pernikahanku dari Teh Lia. Ia memintaku datang ke rumahnya dan membicarakan tentang hal ini.
Om Ilham tampak menarik napas panjang dan berat. Dahinya berkerut seperti sedang memilih jawaban apa yang tepat untuk diberikan kepadaku.
Tante Fatimah datang membawa makanan ringan dan minuman. Ia meletakkannya di meja panjang. Ia melempar senyum kepadaku sebelum kembali ke dapur. Tante Fatimah memberiku keleluasaan berbicara empat mata dengan Om Ilham.
“Dengar Saliha, “ucap Om Ilham dengan suara tenang dan santai. Intonasi suaranya pelan dan terdengar ramah di telingaku. “Di dalam hukum Islam, seseungguhnya seorang Ayah memiliki hak menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang dipilihkannya ....”
“Tapi Om, Saliha tidak pernah menyetujui pernikahan itu. Saliha juga tidak mengetahui kapan pernikahan itu terjadi. Saliha diberitahu Teh Lia setelah pernikahan itu telah terjadi. Itu pun tanpa izin dan sepengetahuan Saliha ....”
Dadaku sesak. Seketika air mataku tumpah membasahi pipiku. Aku tak kuasa menahan tangis kepedihanku.
Om Ilham berdiri dan membawakan kotak tisu kepadaku. Ia memahami perasaanku.
“Saliha tidak bisa menerima pernikahan itu, Om ....”
Getaran suaraku membuat kata-kata yag terlintas di kepalaku berhenti. Aku merasa tidak mampu mengucapkan apa-apa lagi.