Chapter 13
Luka Bathin
Hatiku semakin berdarah. Luka yang Bapak torehkan kepadaku semakin bernanah. Luka itu sempat membuatku ingin menyerah menjalani kehidupan.
Pergulatan bathin yang menyiksa jiwaku membuat hiduoku merasa tidak tenteram. Aku masih terus memikirkan tentang hak perwalianku yang telah berpindah kepada Ridwan. Aku tidak rela menyerahkan diriku kepada laki-laki yang melakukan pemaksaan.
Om Ilham membawaku jalan-jalan. Mengelilingi Kota Cilegon sebelum akhirnya kembali melihat pantai.
Barangkali, jika aku boleh memilih orang tua, aku ingin terlahir dari keluarga Om Ilham. Ia adalah sosok laki-laki yang selalu kuanggap seperti Bapakku sendiri; kerabat terdekatku yang sejak kecil merawat dan melindungi dengan penuh kasih sayang dan pengertian..
“Jadi, Saliha mau gimana sekarang?”
Aku dan Om Ilham duduk berdua di salah satu gazebo yang memiliki view langsung menghadap pantai. Semilir angin berhembus mendatangkan kesejukan. Barisan pohon kelapa serta burung-burung yang beterbangan di atas lautan, membuat suasana hati dan pikiranku terasa ringan.
“Kalau Saliha menuntut perceraian bagaimana, Om?”
“Pernikahan Saliha terdaftar di KUA atau hanya nikah secara agama?”
“Teh Lia memberikan buku nikah kepada Saliha. Tapi, menurut pihak KUA yang pernah Saliha tanya, buku nikah itu nggak bisa terbit kalau nggak ada persetujuan dari pihak perempuan?”
“Saliha tanya KUA mana?”
“BSD. Sebelum ke sini, Saliha sempat mencari informasi syarat dan rukun pernikahan di KUA BSD. Mereka juga memberi penjelasan seperti Om Ilham. Mereka bilang, secara agama pernikahan Saliha sah, tai secara hukum negara, harusnya tidak sah, karena tidak ada persetujuan dari pihak perempuan.”
“ Benar. Ada yang janggal kalau Bapak bisa mencatatkan pernikahan Saliha di KUA. Apalagi sampai dapat buku nikah. Harusnya pihak KUA mengkonfirmasi pernikahan terlebih dahulu sebelum menerbitkan buku nikah.”
Aku dan Om Ilham saling bertatapan. Apa yang kupikirkan sepertinya sama dengan yang dipikirkan Om Ilham. Bapak pasti bermain uang untuk mendapatkan kemudahan. Bapak telah menyalahi peraturan pernikahan yang berlaku dalam hukum negara Indonesia.
Om Ridwan menggelengkan kepala. Bagaimana bisa Bapak berbuat sesuatu yang tidak masuk ke dalam logika.
Sejenak aku dan Om Ilham terdiam. Sepertinya kami berkutat dengan pikiran masing-masinng.
Matahari beranjak naik. Kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 10 pagi. Tak terasa pembicaraanku dengan Om Ilham menghabskan waktu selama 2 jam.
“Masih mau menikmati suasana pantai atau pulang?” tanya Om Ilham dengan suara yang tenang.
“Om hari ini nggak ke kantor?”
“Nggak. Hari ini waku Om buat Saliha. Om antar pulang ke BSD, ya.”
“Makasih, Om. Sayang nggak ada Ibu. Om nggak kangen sama Ibu?”
Om Ilham terdiam. Ia tiba-tiba menghela napas dengan berat. Ia terliat seperti mengelola emosi.
Om Ilham mengajakku berjalan. Melangkah ringan menuju parkiran.
“Bukan Om tidak kangen sama Ibu. Tapi, Om masih kurang nyaman jika bertemu Bapak. Om tidak mau bersitegang atau menambah konflik dengan Bapak Saliha.”
“Maafin Bapak, ya, Om. Maafin Bapak yang sudah mengkhianati kepercayaan Om ....”