"Al, perempuan itu tak pernah patah hati, hanya saja ia merasa kalah setelah disakiti." Sawitri menggumam seperti itu sambil mengelus kepala anaknya pada suatu malam yang terasa lebih sendu ketimbang malam-malam lain. Malam yang lebih dingin ketimbang malam-malam lain.
Alfania mengerti. Tetapi, air matanya tetap jatuh. Ia menyadari, hatinya sangat rapuh seperti daun yang jatuh. Sungguh tidak mudah melupakan segalanya, jika segalanya telah melekat di kepala. Obat merah, perban, senyuman, dan ucapan terima kasih. Ungkapan cinta, pantai, air terjun, dan kegilaan-kegilaan.
Alfania masih membenamkan kepala di pangkuan ibunya. Dan mulutnya, tanpa ia sadari, menyebut-nyebut nama seseorang dengan lirih (bahkan amat lirih): Rafa, Rafa...
Sawitri tidak mendengar itu. Sebab, di luar, gerimis telah menjadi hujan. Hujan yang begitu gaduh. Seperti sedang mengaduh karena terempas di genting-genting, di tanah, di batu-batu, di pepohonan, dan di tempat-tempat lain.
Sawitri tahu betul, Alfania menangis karena ditinggal pacarnya, Rafa.