Melihat mata Alfania yang berkaca-kaca, Han sungguh sesak dadanya. Apa yang ingin ia katakan, tercekat di tenggorokannya.
Itu adalah hari di mana mereka berada di samping makam seorang lelaki yang meninggal dunia sebab TBC di sepuluh tahun yang lalu. Pak Karto namanya. Alfania sengaja berkunjung ke makam itu. Ia ingin memperlihatkan kepada ayahnya kalau sekarang adalah hari ulangtahunnya yang ketujuh belas. Ya, meski terlihat tidak masuk akal (orang mati tidak mungkin bangkit kembali hanya untuk mengatakan selamat ulangtahun kepada siapa pun), namun Alfania tetap melakukannya.
Mungkin, Alfania terlihat gila.
Tetapi, Han menemani kegilaan itu.
Mungkin, Alfania terlihat sinting.
Tetapi, Han memaklumi kesintingan itu.
"Sudah?" tanya Han pada Alfania. Yang ditanya hanya diam. Sebenarnya, ia menoleh ke arah Han, hanya saja dari mulutnya tidak keluar suara apa pun. Pipinya basah. Melihat itu, tentu Han akhirnya juga tidak berkata apa-apa lagi. Sebagai sahabat, ia hanya perlu menemani Alfania di makam itu, entah sampai kapan.
Padahal matahari sudah condong ke arah barat. Sebentar lagi pasti akan tenggelam. Tetapi, kedua orang itu masih di sana. Seperti baru saja ditinggal pergi salah satu anggota keluarganya. Padahal kematian ayah Alfania sudah begitu lama.
“Han?"