Perempuan Tanpa Nama

Daras Resviandira
Chapter #2

Chapter satu

Seorang anak perempuan berlari dengan kaki mungilnya. Terengah-engah sembari menggenggam bungkus snack berisi uang receh. Sesekali dibenarkan bagian atas lengan bajunya yang selalu melorot akibat kelonggaran. Tubuhnya yang kurus membuat pakaian yang seharusnya pas menjadi tampak salah ukuran. Bahkan ada tali yang terikat pada bagian atas roknya agar tidak perlu terlepas dari pinggang. Sesekali dia menengok ke arah langit yang sudah mulai menghitam. Tampak khawatir karena sebentar lagi hujan akan turun dengan lebat.

Di depan gubuk reyot, perjalanan anak itu berakhir. Cepat-cepat dia masuk ke dalam, tepat sebelum rintikan air berjatuhan dengan deras dari langit. Seakan menunggu hingga anak itu sampai di tempat perlindungannya lebih dulu.

"Masih siang kenapa udah pulang?" Suara seorang wanita membuat si anak yang baru saja menutup pintu tersentak karena terkejut.

"Hujan..." jawab si anak yang masih berusia tujuh tahun itu dengan pelan. Wajahnya tertunduk, tak berani menatap balik pada wanita yang menghampirinya.

Bungkus snack yang semula digenggam si anak langsung direbut dengan kasar. Si wanita tampak geram saat menemukan tujuh keping uang logam dari dalamnya.

"Dari tadi pagi ngapain aja, hah? Kamu main-main lagi?"

"Tidak..."

"Terus kenapa cuma segini?"

Suara petir turut memperburuk suasana. Bersahutan dengan suara si wanita yang tak kalah menyeramkan. Si anak perempuan hanya bisa terdiam sembari menahan tangis. Tubuh mungilnya menggigil bukan karena dingin. Berusaha tetap terlihat tegar di tengah ketakutan yang menyiksa. Tiba-tiba, lengannya ditarik dengan kencang. Tubuh kecilnya terhuyung tidak berdaya, untuk sekedar menahan pun tak sanggup.

"Sini kamu!"

Si wanita yang marah mengambil kayu panjang dari meja yang ada di dekatnya, lalu memukulkan benda tersebut ke punggung si anak. Saat itu dia mendengar suara aneh, karena sepertinya ada sesuatu yang menghalangi kayu tersebut.

Sebuah buku yang sudah tidak bisa menyembunyikan keberadaannya, menyembul dari balik baju. "Jadi uangnya kamu habiskan buat ini?" Tentu saja hal itu menambah keadaan jadi semakin parah.

Si anak perempuan yang tidak berdaya mulai menangis. Dia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya yang mendesak keluar bukan karena sedih. "Ma-maaf," ucapnya pelan sembari terisak.

"Buang-buang uang buat barang gak berguna kayak gini! Kamu harus dikasih pelajaran!" Sembari terus memaki, tangan si wanita tidak berhenti memukulkan kayu ke arah si anak—yang menangis sembari menjerit kesakitan.

"A-ampun, Bu..."

"Udah berkali-kali aku beri tahu, jangan pernah buang-buang uang seenaknya! Memangnya yang kayak gitu bisa bikin perut kenyang? Udah untung aku pelihara. Kalau bukan karena aku, harusnya kamu udah mati sekarang!"

Pukulan kasar dari si wanita tak kunjung berhenti meski si anak berkali-kali memohon ampunan. Sudah pasti akan meninggalkan bekas kebiruan yang tidak akan langsung hilang dalam waktu dekat.

"Maaf, Bu... Maaf!"

Semalaman hujan tidak kunjung mereda. Sepertinya awan pun turut menangis. Merasakan kesakitan yang selalu dialami oleh anak berumur tujuh tahun yang kini mengurung diri di dalam kamar. Dia masih terisak sembari memeluk bantal. Punggungnya tak henti berdenyut sedari tadi.

Ini bukan pertama kalinya dia diperlakukan seperti itu oleh wanita yang memang bukan ibu kandungnya. Dulu dia dibuang oleh orang tua yang entah siapa, dan dipungut oleh wanita yang memperlakukannya tak lebih dari seekor peliharaan. Setiap hari dia harus mengemis, meminta belas kasihan dari siapa saja yang ditemui di sepanjang jalan.

Padahal anak malang itu seharusnya mendapatkan seragam putih merah pertamanya di tahun ini. Tapi, jangankan untuk sekolah, untuk makan saja dia dituntut supaya bisa mendapatkan uang minimal lima puluh ribu sehari. Jika tidak, semalaman perutnya terpaksa harus dibiarkan bergemuruh, hingga tak jarang menganggu tidurnya.

Beruntung, kadang masih saja ada orang baik yang memberi pertolongan. Salah satu yang paling sering datang adalah si kakek penjual koran. Kadang dia memberikan uang meski tidak banyak, bahkan hingga membantu si anak malang belajar membaca. Hal itu membuatnya bertahan meski hampir tiap hari selalu saja ada luka atau lebam baru yang muncul pada tubuhnya.

Anak perempuan kurang beruntung tersebut masih belum mengerti apa pun. Dia berpikir tidak akan bisa hidup tanpa kehadiran ibunya, yang bahkan tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang anak. Lebih paranya lagi, dia sama sekali tidak diberikan nama.

***

"Yur, sayur! Sayurnya, Bu!"

Pedagang sayur keliling sudah mendorong gerobaknya dengan penuh semangat. Ditambah lagi karena awan kelabu sudah hilang sepenuhnya. Hanya menyisakan jalanan yang becek dan sedikit berlumpur.

Di dalam kamarnya, seorang anak perempuan sudah bersiap untuk pergi bekerja. Hari ini dia terbangun lebih awal, bahkan sebelum tukang sayur melintas di depan rumah. Sesaat dia mengintip ke arah kamar sang ibu, dan mendapati wanita tersebut masih terlelap. Tangannya mengelus perut yang kembali berbunyi. Tapi tak ada apa pun yang bisa ditemukan di atas meja makan. Juga, tidak bisa berharap akan dibuatkan makanan meski merengek sekalipun.

Tanpa berpikir apa pun lagi, si anak lekas pergi ke tempatnya yang biasa. Menunggu orang berlalu lalang, memasang wajah memelas hingga bungkus snack-nya kembali dipenuhi oleh kepingan uang koin. "Kasihan, Bu... belum makan..." ucapnya berulang kali. Tidak pernah menyerah meski kadang harus mendapatkan ekspresi penuh rasa jijik dari orang yang lewat.

Di tengah kesibukannya meminta belas kasihan, plastik hitam yang terisi penuh jatuh dari langit. Bukan, tepatnya seseorang telah menaruhnya dengan sengaja. Si kakek tukang koran baru saja datang dengan setumpuk koran yang siap didagangkan. "Kamu pasti belum sarapan, kan?"

Si anak perempuan mengorek isi kantong kresek dengan semangat. Langsung tersenyum lebar kala melihat tahu goreng hangat ada di dalam sana. "Terima kasih!" serunya sebelum mulai melahap tahu yang ada dengan semangat.

"Makan yang banyak biar sehat."

Anak perempuan yang sedang sibuk mengunyah hanya mengangguk-angguk. Mulutnya terlalu penuh untuk dipakai bicara. Sampai-sampai harus terbatuk karena makan terlalu cepat. Tapi dia tidak bisa berhenti hingga seluruh isi dari kantong kresek sudah berpindah ke dalam perut kecilnya.

Si kakek hanya bisa tertawa untuk menutupi rasa prihatin yang selalu muncul. "Ini koran untukmu. Banyak baca supaya kamu pintar."

Lihat selengkapnya