"Selamat ulang tahun, Rei. Kamu ingin kado apa?"
"Buku cerita yang banyak."
"Oke, akan kakek belikan. Tapi, dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Kamu harus lulus ujian sabuk hitam taekwondo-mu di minggu ini. Setelah itu, kamu akan lihat ada satu lemari penuh buku di kamarmu."
"Benarkah?"
"Tentu saja. Apa kakek pernah bohong?"
"Makasih! Aku sayang Kakek!"
"Tapi, sekarang kamu harus bangun, ya. Bangun, Rei!"
"Bangun!"
'Brak!'
Lagi-lagi, Rei harus terbangun karena terkejut. Dia ingin sekali marah, kalau saja tidak segera sadar bahwa dia baru saja tertidur sembari duduk. Bahkan dia tidak memperhatikan diskusi yang sedari tadi sedang berlangsung. Seorang lelaki bertubuh kurus dan berambut gondronglah yang barusan menggebrak mejanya. Orang itu langsung menggerutu kesal. "Bisa-bisanya tidur di waktu kayak gini. Huh, gak tahu diri!"
Rei membenarkan posisi duduknya. Tangannya sedikit kesemutan karena sedari tadi menyangga kepala agar tidak terjatuh. "Maaf, Kek," ucapnya pada lelaki yang terduduk pada singgasana di depan ruangan.
"Tidak sopan sekali tertidur di tengah meeting seperti ini," komentar seorang wanita cantik berambut lurus. Pakaiannya sangat rapi seperti wanita kantoran. Pada jasnya bertengger bros yang bertuliskan nama 'Rhea Paraditha'. Tatapannya sangat tajam, menghunuskan kebencian pada wanita yang baru saja tersadar.
Dua lelaki bertubuh kekar hanya memperhatikan sembari terdiam di samping meja Kakek. Salah satunya memiliki tinggi hampir dua meter dengan wajah campuran Indonesia-Amerika. Shankara Watts, si pengusaha kaya berumur 32 tahun. Pemilik percetakan koran dan majalah.
Dulu ibunya bertemu dengan sang ayah di sebuah bar di Bali. Ayahnya merupakan pengusaha di Amerika dan sudah memiliki keluarga. Saat tahu wanita simpanannya hamil, dia tidak lepas tangan begitu saja. Dia masih terus mengirimkan uang meski jarang sekali pergi ke Indonesia. Bahkan usaha Shan pun dimodali oleh sang ayah.
Lelaki satunya berperawakan normal. Badannya yang cukup kekar menandakan seberapa rutin olahraga yang dilakukan. Jambang yang menghiasi wajah, membuatnya tambah digemari oleh tiap wanita yang melihat. Jika diperhatikan lebih dekat, akan tampak luka memanjang membelah mata kanannya yang berwarna putih. Mata itu sudah tidak lagi berfungsi. Dia adalah Setra Rahandhika. Baru bergabung saat berumur enam belas tahun. Kepintaran dan kehebatannya dalam bela diri menjadi salah satu yang membuatnya dihindari banyak orang.
Kedua lelaki tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Kakek. Selalu maju paling depan apabila ada hal gawat terjadi. Mereka dipercaya karena selalu bisa menyelesaikan semua tugas atau permasalahan dengan baik. Keduanya selalu tampak tenang, tapi di satu sisi merasa saling mewaspadai satu sama lain.
Rei menghela napas dan mengembuskannya dengan malas. Matanya masih terasa panas, memaksanya untuk lanjut beristirahat. Bahkan kepalanya belum bisa diajak bekerja sama. "Apa yang aku lewatkan?" tanyanya dengan lemas, tak ada bedanya dengan orang yang sedang mabuk.
"Laporan, bodoh! Laporan!" sahut Raka. Dia kesal sekali sedari tadi.
"Oh... Sudah kubuat orang itu menandatangani kontrak dan memberikan setengah sahamnya kepada kita. Sudah kusampaikan juga salam Kakek padanya." Rei berjalan sembari merogoh ke dalam kantong baju. Gumpalan tisu yang sedikit memerah dia simpan di atas meja. "Aku bawakan sedikit oleh-oleh."
Kakek membuka barang pemberian sang cucu kesayangan. Senyuman nampak dari wajahnya yang tampak serius sejak tadi. Semua itu berkat potongan jari dengan cincin batu akik yang baru saja didapatkan. "Kamu memang paling tahu cara membuatku senang," komentarnya. Berhasil membuat beberapa orang merasa kesal akibat iri tak mendapatkan pujian serupa.
Rei melakukan semua itu bukan karena ingin mencuri perhatian sang Kakek, tapi karena dia merasa perlu membalas budi sepanjang hidupnya. Dulu lelaki itulah yang sudah menyelamatkannya dari dunia yang kejam. Sejak saat itu, dia baru merasakan seperti apa rasanya mendapat kasih sayang—dari orang yang membesarkannya sebagai seorang manusia.
Awalnya Rei tidak tahu bahwa Kakek merupakan lelaki berbahaya yang tinggal di tengah dunia yang berbahaya pula. Semakin bertambah besar, dia baru sadar dan mengerti tentang semua itu. Tapi Rei sama sekali tidak peduli. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara membalas semua kebaikan dan membuat sang Kakek senang.
Di hari pertama mereka bertemu, Kakek menjelaskan mengenai hidupnya kepada Rei. Dia memiliki tempat yang dihuni oleh orang-orang kurang beruntung yang dia selamatkan dan besarkan. Semuanya diberikan kehidupan yang layak, namun sebagai gantinya harus bersedia mengabdi seumur hidup. Mereka yang baru saja bergabung, langsung diberikan pendidikan dan pelatihan terhadap banyak hal. Hampir semua anak merupakan sampah masyarakat yang selalu dikucilkan. Tak memiliki tempat tinggal, dan tak memiliki posisi di tengah masyarakat.
Kakek menjual jasa kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan. Tentu saja maksudnya untuk men-support pekerjaan kotor yang tidak bisa seseorang lakukan dengan tangannya sendiri. Mereka akan membayar sesuai perjanjian, dan Kakek akan memanggil cucu-cucunya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Hingga saat ini banyak sekali klien berdatangan dengan permintaan beragam. Mencuri data, merampok, bahkan membunuh. Semua diterima dengan biaya yang sebanding. Kakek tidak pernah kesulitan dalam menjalankan bisnisnya, karena memang jumlah cucunya cukup banyak. Mereka tidak hanya ada di satu tempat saja, melainkan tersebar di seluruh penjuru negeri. Meski keberadaannya jauh, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang membelot. Semuanya selalu siap kapan pun Kakek membutuhkannya. Bahkan rela mengorbankan nyawa jika memang itu perlu.
Selain yang berasal dari kalangan bawah, ada beberapa orang yang memang berasal dari keluarga terpandang di masyarakat. Cukup sering Kakek menemukan orang-orang yang merasa hidupnya tidak sejalan dengan apa yang hatinya inginkan. Jadi, dia pun membesarkan orang-orang seperti itu, yang memang dia yakini memiliki potensi besar. Salah satu dari orang tersebut adalah Rhea, yang datang beberapa bulan sebelum Setra. Ayahnya bekerja di kantor pemerintahan dan dia dibesarkan untuk menjadi seorang pengacara. Tapi dia merasa bukan itu keinginan hatinya. Ditambah lagi dengan kekesalan yang tumbuh akibat melihat tingkah laku sang ayah—yang seharusnya sudah mendekam di dalam penjara.
Sama seperti yang lain, Rei pun mendapatkan pendidikan dan pelatihan sejak kecil. Bahkan sang Kakek sering turun tangan secara langsung. Hal yang jarang sekali terjadi. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan perlakukan spesial seperti itu. Setra dan Shan menjadi orang beruntung yang mendapatkannya juga. Bahkan Raka yang merupakan cucu sedarah Kakek saja tidak pernah mendapatkan kesempatan itu.
Kemampuan Rei dalam menangkap pelajaran dengan cepat, selalu membuat Kakek kagum. Tidak pernah mengeluh meski sekeras apa pun pelatihan yang didapat. Dia tetap bangkit saat tubuhnya bahkan sudah dipenuhi dengan luka dan lebam. Itu yang Kakek suka darinya. Kini dia selalu bebas mendapatkan apa pun, dan melakukan apa pun yang dia mau. Meski keistimewaan itu tidak pernah membuat Rei sombong, Rhea dan Raka benar-benar berhasil dibuat benci setengah mati padanya.
"Qirani, kamu harus waspada. Anak-anak buahmu yang bodoh bisa membahayakan kita semua."
"Jangan khawatir, Kek. Akan aku singkirkan langsung semua yang melakukan kesalahan."
"Aku mendapatkan laporan, sempat ada beberapa polisi yang datang ke barmu. Terlepas mereka memang ingin bersenang-senang atau hanya menyamar, kamu tidak boleh melepaskannya dari pengawasan. Penjualan obatmu sedang naik pesat beberapa bulan terakhir. Jangan biarkan menurun."
Sejak remaja, Qirani beberapa kali keluar masuk pusat rehabilitasi karena kecanduan narkoba. Tapi dia selalu bisa meloloskan diri hingga akhirnya bertemu dengan Kakek. Kecintaannya kepada narkotika tidak berubah, dan kini berhasil menjadi bandar besar setelah Kakek memberinya modal. Dia pun memiliki sebuah bar terkenal, di mana orang-orang kaya sering berkunjung ke sana. Berkat itu, dia menjadi salah satu dari enam orang cucu spesial Kakek.
"Denger itu, Raka! Lo udah ngapain aja?" Qirani tertawa kecil sembari menggoda si lelaki yang terus berwajah kesal.
"Sialan!"
"Jangan kebanyakan ngurusin mobil rongsok."
"Lo ngajak berantem?"
"Baperan lo ah, gak asik."