"Aku masih belum mengerti, sih. Dari sekian banyak pilihan, kenapa harus jadi polisi?"
"Kenapa ya... Panggilan hati? Haha."
"Padahal nantinya kamu cuma akan melukai diri sendiri untuk orang lain."
"Itu salah satu yang tidak bisa dijelaskan. Sama halnya seperti saat kamu melampiaskan kekesalan kepada seseorang, pasti merasa lega, kan? Aku pun sama. Saat berhasil membantu atau mengungkap sebuah kasus, perasaan lega yang terasa berkali-kali lipat lebih menyenangkan."
"I don't understand. No. I can't."
"Saat marah, kita melampiaskan kekesalan hanya untuk diri sendiri saja. Saat membantu orang lain, bukan hanya diri sendiri yang merasa puas, melainkan orang lain juga. Dan kamu akan mendapatkan kepuasan yang berlipat setelah melihat wajah bahagia dari orang tersebut. Nanti kamu juga akan mengerti kalau sudah merasakannya sendiri."
Rei terjaga di tengah tidurnya, padahal jam masih menunjukkan pukul dua. Ada mimpi yang lagi-lagi muncul tanpa dipinta. Bayang seseorang di masa lalu yang tiba-tiba berkunjung ke tengah waktu istirahatnya.
Mungkin sebuah mimpi hanya menjadi hal sepele bagi orang lain. Mungkin bagi Rei juga, kalau saja bukan mimpi soal 'orang itu' yang datang. Bahkan tubuhnya merespons dengan tidak baik. Dia merasa tidak enak badan, seakan belum tidur dalam waktu yang cukup lama.
Setra masih terlelap di sampingnya. Tampak damai di tengah peristirahatannya yang sudah pasti tidak dikunjungi oleh mimpi serupa. Ingin sekali Rei membangunkannya dan bercerita soal mimpi barusan. Tapi, dia pikir cukup dirinya saja yang tahu, karena mimpi itu pun sepertinya tidak berarti apa pun. Hanya peninggalan dari kejadian yang pernah terkubur di masa lalu.
***
"Oh ini dia, cucu kesayangan Kakek yang baru saja pulang liburan," Rhea berkomentar sinis saat bertemu Rei yang beberapa hari tidak terlihat di markas. Dia tampak sedang duduk menikmati kopi bersama Shan dan Qirani.
Padahal baru saja Rei masuk ke dapur untuk mencari makanan, tapi justru harus bertemu dengan orang yang tampak ingin mencari masalah. Tapi dia memilih untuk tidak menggubrisnya, dan melanjutkan perjalanan menuju lemari es. Dia berjongkok setelah membuka pintu kulkas, lalu mengambil dua kaleng soda dari dalam sana. Saat berdiri, dia dibuat terkejut oleh keberadaan Rhea yang sudah ada di hadapannya. Mereka berdua hanya dipisahkan oleh pintu kulkas yang masih terbuka.
"Enak ya, bisa pergi kapan pun dan selama apa pun yang kamu mau."
'Mulai lagi...' keluh Rei dalam hati. Dia paling tidak suka berhadapan dengan orang seperti Rhea yang tidak bisa dibungkam hanya dengan omongan. "Kakek sendiri yang menyuruhku liburan," balasnya dengan malas.
"Ya, tentu saja. Tidak mustahil untuk penjilat sepertimu."
"Aku lagi gak mau bertengkar, Rhe."
"Dengar, ya! Orang sepertimu tidak pantas bersanding dengan mereka. Kamu hanya beruntung ada di sini. Dan beruntung bisa bersama mereka. Tapi bukan berarti semua bisa kamu monopoli dan kamu anggap jadi milikmu sendiri!" Omongan Rhea semakin kacau. Tidak ada angin, tidak ada hujan, dia mendadak tampak kesal dan marah kepada Rei yang bahkan hanya bermaksud mencari cemilan. Dia bicara agak kencang sembari menunjuk-nunjuk wajah orang di hadapannya yang tampak tidak peduli.
"Mereka?" Rei mendengus. "Dengar ya, aku gak pernah meminta Kakek untuk menjadikanku cucu kesayangannya. Dan aku pun gak meminta Setra untuk menjadikanku wanita kesayangannya! Mereka bisa lihat, siapa yang memang pantas untuk dipertahankan."
Qinari yang mendengar, tertawa cekikikan. Selalu menikmati setiap pertengkaran yang terjadi. "Menyedihkan, Rhea," komentarnya. Tanpa mempedulikan seperti apa respons orang yang mendengar. "Seolah lo gak ada harganya sama sekali di mata mereka!" tambahnya sembari tertawa geli.
"Shut up! Sekali lagi bicara, kubuat kamu tidak bisa membuka mulut selamanya!"
"Iya, iya, maaf, Mama..." balas si wanita berambut putih, masih dengan nada bercanda. Dia berusaha untuk lebih tenang sambil memperhatikan kedua wanita yang lanjut beradu mulut. Sekaligus merasa tidak sabar menanti tontonan yang sepertinya akan jadi semakin seru.
Perkataan Rei tadi berhasil menyulut emosi Rhea semakin menjadi-jadi. Wanita itu membanting pintu kulkas yang sedari tadi terdiam tak berdosa. Lalu mendorong pundak Rei hingga kaleng soda yang digenggam terjatuh ke atas lantai. "Kamu merasa lebih baik dariku?"
"Gak juga. Tapi Kakek dan Setra yang berpikir kayak gitu."
"Lama-lama kamu jadi besar kepala! Tahu, tidak?"
"Lho, memang itu kenyataan, kan? Dengar ya, kalau kamu masih terus seperti ini, itu berarti kamu mengakui kehebatanku."
Rhea mengepal tangan kanannya. Bermaksud memberikan pukulan pada Rei. Tapi, Shan yang entah sejak kapan ada di belakangnya langsung mencengkram lengan Rhea. Berbeda dengan Qirani, Shan justru tidak suka jika ada keributan di antara mereka. Baginya hal itu sangat bodoh dan membuang-buang waktu.
"Terima kasih, Shan." Rei dengan tenang mengambil soda yang terjatuh sebelum akhirnya berjalan ke luar ruangan. Meninggalkan Rhea yang masih terbakar api cemburu.
Bagi Kakek, Rhea merupakan salah satu cucu yang bisa diandalkan. Pekerja keras, gesit, hampir selalu sempurna jika merencanakan apa pun. Meski fisiknya tidak terlalu kuat, dia seorang pemikir yang hebat. Dulu Kakek sering sekali memujinya saat melakukan pelatihan. Rhea merasa kehadirannya berhasil mencuri perhatian semua orang, ditambah lagi dengan penampilannya yang menarik. Tapi, lama kelamaan dia menyadari bahwa ternyata perhatian Kakek lebih banyak diberikan kepada Rei. Awalnya dia tidak terlalu menyadari kehadiran Rei, hingga rasa dengki mulai membuatnya tak henti memperhatikan rivalnya itu.
Rasa cemburu mulai menjadi-jadi saat Rhea sadar orang yang dia sukai ternyata memiliki perasaan pada Rei. Padahal Setra selalu bersama Rhea di saat menjalani pelatihan—karena mereka datang pada waktu yang berdekatan. Tapi, sekeras apa pun Rhea mencoba mencuri perhatian sang pujaan, Setra tetap memandangnya tidak lebih dari sekedar teman. Hingga akhirnya Rei dan Setra pun resmi menjalin hubungan, dan Rhea mulai memiliki keinginan untuk melenyapkan kehadiran Rei dari sana.
"Kakek gak nyari aku, kan?" Rei memberikan sekaleng soda pada Setra yang sedang duduk di atas sofa. Menonton televisi yang menyiarkan kabar seputar kasus pembunuhan anak jalanan.
"Aku belum ketemu dari tadi. Kayaknya lagi ada tamu."
"Siapa?"
"Entahlah." Setra membuka kaleng sodanya. Sedikit terkejut saat isinya menyembur hingga membasahi wajah. Mungkin akibat terjatuh tadi.
Rei berhati-hati saat membuka kaleng soda miliknya sendiri. Biasanya dia tertawa jika melihat ada sesuatu yang terjadi pada Setra. Tapi kali ini dia sedang kelihangan mood, meski hanya untuk tersenyum sekali pun.
"Kamu sengaja, ya?" canda Setra. Namun, tidak mendapatkan respons seperti biasanya. Dia langsung menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuannya.
"Bukan. Gak sengaja aku jatuhin tadi," jawab Rei sembari memberikan beberapa helai tisu. "Fans-mu itu kerjanya bikin orang kesal."
"Kalian bertengkar lagi?"
"Dia yang melabrakku duluan."
"Maklum, dia orang yang selalu mendapatkan segalanya. Pasti dia kesal sewaktu gak bisa memiliki apa yang dia inginkan."
"Apa aku kasih aja kamu ke dia, ya?"
Setra sedikit tertawa mendengarnya. "You'll regret it."
"Gak juga. Dia bisa dapatkan tubuhmu, tapi dia gak akan bisa dapatkan hatimu."