Di depan sebuah gedung putih yang megah, berbagai jenis mobil mahal terparkir dengan rapi. Orang-orang dengan pakaian mewahnya sudah mulai ramai berdatangan. Reina dan Shan berbaur di tengahnya, berbincang dengan para konglomerat yang sedang sama-sama mengincar benda langka yang akan dipamerkan.
Di salah satu sudut ruangan, seorang lelaki berumur tiga puluhan tampak sibuk menyambut para tamu. Rei mengenali orang tersebut. Dia dalah anak termuda dari si pendiri acara malam hari ini.
"Hai," sapa Rei. "Aku rekan bisnis Pak Fahri."
"Oh, selamat datang." Si lelaki muda menyalami Rei. Rambutnya yang agak panjang disisir rapi menggunakan gel yang terlalu banyak. "Tidak kusangka ayah memiliki rekan kerja secantik ini."
"Aku juga tidak menyangka Pak Fahri memiliki anak setampan ini," godanya balik.
"Wah kalau itu sih sudah keturunan."
Rei tertawa kecil, semakin mendekatkan diri pada lelaki bernama Johan itu. "Oke, oke, Mas tampan. Kenapa dari tadi sendirian saja? Pasangannya mana?"
"Wah, kalau itu sih masih dalam pencarian."
"Oh, gitu. Apa bisa dibilang aku beruntung?" Rei membenarkan sapu tangan yang sedikit menyembul dari kantong jas Johan. Lelaki di hadapannya tidak menghindar, justru memberikan respons sesuai harapan. Agak salah tingkah dibuatnya.
"Ehem," Johan sedikit terbatuk. "Mau aku ambilkan minuman?"
"Tentu saja."
"Tapi, sepertinya yang terbaik masih belum dikeluarkan dari kulkas. Akan kuambilkan kalau mau."
"Oh, oke. Biar aku bantu ambil."
Keduanya berjalan menjauhi kerumunan, melewati tempat yang lebih sepi untuk menuju pantry.
Baru saja beberapa kali melangkah, Rei hampir terjatuh karena tersenggol seseorang. "Aduh," ucapnya spontan. Untung saja ada tembok di dekat situ, jadi dia tidak perlu terjatuh dan mencuri perhatian banyak orang.
Si lelaki yang menjadi pelakunya lekas meminta maaf. "Maaf, Anda tidak apa-apa?"
Rei hanya mengangguk.
"Hei, Edgy!" sapa Johan pada lelaki tersebut.
"Eh, Jo!"
"Dari kapan datang? Kok, gue gak lihat."
"Emang belum lama, sih. Tapi gue laper, jadi nyari makanan dulu."
"Oke. Posisi gue udah gak lebih penting daripada makanan sekarang."
"Udah jelas, lah!"
"Resek lo emang!" Johan tertawa. "Eh, lo datang sendirian?"
"Enggak. Ada Audrey sama Glen."
Sepertinya mereka berdua sudah saling mengenal. Untuk beberapa saat keduanya mengobrol hingga keberadaan Rei terlupakan sejenak.
Hampir saja Rei merasa kesal karena ada orang yang menganggu kegitannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk turut menimbrung karena tidak ingin mengulur waktu terlalu lama. "Kalian sepertinya teman baik, ya?"
"Eh, maaf. Aku jadi keasikan. Kita bukan teman, kok. Cuma kebetulan kenal, haha."
"Sialan emang!" sahut si lelaki bernama Edgy sebari bercanda. "Ya udah, aku ke sana dulu, ya. Takut ganggu kalian."
"Untung nyadar sendiri, lo!"
"Awas, jangan macem-macem lu, Bro!" ucap Edgy sembari pergi menjauh.
Setelah si pengganggu menyingkir, Rei dan Johan pun melanjutkan perjalanan.
"By the way, tahu dari mana kamu tentangku, Reina?"
"Panggil Rei saja."
"Oke, Rei."
"Dulu sewaktu bertemu, Pak Fahri sempat menceritakan tentang anaknya yang nanti akan meneruskan usahanya. Sepertinya dia bangga sekali pada anaknya itu sampai-sampai tidak sadar sudah bercerita hampir setengah jam."
"Aduh, ayah memang terlalu banyak bicara."
"Eh, kenapa dari tadi aku belum melihat ayahmu, ya?"
"Dia bilang akan memberikan kejutan untuk para tamu."
"Oya? Dengan cara?"
"Kalau aku ceritakan, nanti tidak akan membuatmu terkejut lagi."
"Jangan khawatir, aku tidak terlalu suka kejutan."
Johan tertawa sedikit. Dia berbelok ke arah sebuah ruangan berisi kulkas dan makanan lainnya. Beberapa orang koki sedang sibuk menyiapkan makanan di sana.
"Bintang utama pameran ini si Aquamarine yang nantinya akan dimunculkan pada pukul delapan. Sekarang benda itu masih ada di bawah panggung. Nanti sewaktu dinaikkan ke atas panggung, ayah akan ikut muncul dari bawah sana."
"Jadi ayahmu dari sekarang sudah bersiap di sana?"
"Iya. Dia memang penuh niat kalau melakukan sesuatu."
"Pantas, anaknya juga penuh niat ya kalau berkenalan dengan wanita."
Johan tertawa cukup kencang mendengar lawakan Rei yang terucap spontan dari dalam mulutnya. Padahal sedikitnya ada nada menyindir yang mungkin tak disadari oleh orang bersangkutan. Rei bukan wanita sepolos itu hingga tak bisa menangkap apa yang diinginkan oleh lelaki seperti Johan. Dan kali ini, hal itu menjadi kesempatan bagus untuknya.
Johan menggenggam sebotol wine putih dan dua buah gelas bening. Dia sedikit berbisik ke arah Rei. "Mau minum di tempat ramai tadi, atau ke yang lebih sepi?" tanyanya. Benar-benar sesuai dengan apa yang Rei inginkan. Bibirnya sedikit tersungging seakan puas saat mendapati skenarionya berjalan dengan lancar sesuai rencana. Sejauh ini memang belum ada orang yang tidak bisa dia taklukan. Pikiran manusia memang mudah sekali disetir, pikir Rei.
"Aku lebih suka minum dengan tenang."
Si lelaki segera menunjukkan arah kepada Rei yang sama sekali belum pernah masuk ke gedung tersebut. Padahal biasanya, dia selalu mencari tahu soal denah lokasi yang akan menjadi tempat sasarannya. Tapi kali ini dia memilih untuk langsung datang dan berimprovisasi.
Di lantai atas gedung terdapat beberapa kamar yang memang biasa digunakan oleh tamu atau para penyelenggara event. Di mana salah satunya adalah milik Johan. Rei melihat lelaki tersebut sedikit tersenyum-senyum seorang diri. Tampak sangat bodoh jika membayangkan apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
"Berarti ada satu lantai lagi di bawah hall tadi, ya?"
"Iya. Hanya ruangan kecil yang dipakai sebagai backstage."
"Oh, gitu. Tapi hall-nya tidak kelihatan dirancang untuk perform, ya."
"Wajar sih, ini gedung tua yang dialihfungsikan. Ruangan backstage-nya itu belum lama dibangun, jadi tangganya agak terpisah jauh. Tadi kamu lihat kan ada pintu cokelat di samping pantry?"
"Iya."
"Nah, tangga untuk turun ke backstage ada di situ."
"Oh..." komentar Rei seakan tidak tertarik. Padahal informasi tersebut lah yang sedang dia incar sedari tadi. "Aku jadi penasaran akan jadi seramai apa nanti."