Perempuan Tanpa Nama

Daras Resviandira
Chapter #9

Chapter delapan

"Cih, kenapa gue harus pergi sama lo, sih? Kenapa juga Kakek gak pernah percaya kalau gue bisa nanganin semua sendiri? Kenapa Kakek gak pernah mau percaya?!"

Raka menggerutu sembari menyetir mobil. Sepanjang jalan dari markas, dia tidak pernah bisa diam. Rei ada di sampingnya, tapi lebih memilih untuk diam dan memperhatikan jalan—yang tak terlalu tampak karena kegelapan malam. Sudah berkali-kali dia mengembuskan napas dengan malas. Agak kesal karena harus mendengarkan celotehan lelaki di sampingnya.

"Kenapa gak bilang langsung aja ke Kakek?" tanya Rei. Kepalanya masih menengok ke arah luar kaca di samping. Sebenarnya masih tidak berniat untuk menanggapi. Tapi, lama-lama dia tidak bisa tahan jika harus mendengarkan gerutu orang lain.

"Kalau udah gak sayang nyawa, udah gue lakuin dari dulu. Lagian apa sih yang bikin dia sebegitu percayanya sama lo? Apa sih yang lo lakuin buat ngejilat dia, huh?"

"Tolong nyetir aja dengan tenang. Aku juga gak terlalu suka kalau harus kerja sama orang lain."

"Jangan sampai lo nyusahin gue nanti!"

'Huh, apa gak kebalik?' sahut Rei dalam hati.

Perjalanan ditempuh selama setengah jam, yang sebagiannya mereka habiskan dengan saling diam. Mungkin keduanya sama-sama menggerutu, tapi kali ini hanya dilakukan dalam pikiran masing-masing.

Mereka sampai di sebuah tempat dengan pepohonan lebat. Tidak tampak ada tempat tinggal di sana. Tapi, sebuah mansion megah tersembunyi di balik pepohonan yang ada. Agak terpisah dengan tempat mereka berhenti sekarang.

Rei dan Raka berjalan cukup jauh karena perlu menyimpan mobil di tempat yang aman. Keduanya mengendap-endap, memastikan tidak ada orang yang melihat. Mereka bersembunyi di balik semak yang tak jauh dari pintu mansion.

"Dua orang yang pakai baju hitam itu polisi sewaan," bisik Raka. "Jumlah mereka kayaknya tambah banyak dari sebelumnya."

"Huh," Rei mendengus. "Mungkin orang itu takut gara-gara kedatangan kalian."

"Kita tembak aja kepala mereka satu-satu." Raka mengeluarkan pistol lalu mengongkangnya. Lagi-lagi lelaki itu hampir bertindak gegabah jika Rei tidak sempat mencegahnya.

"Jangan! Tunggu dulu! Kamu mau mati?"

"Ya lo berharap apa? Kita datang baik-baik terus bilang permisi?"

Rei mendecak dengan keras. "You never learn!" ucapnya sedikit kesal. Hal selanjutnya yang dia lakukan adalah membuka kaos dan celana hitamnya. Ternyata dia sudah bersiap dengan sebuah gaun tipis berwarna merah yang cantik. Bahkan lipstik dengan warna sama sudah disiapkan sejak tadi. "Diam di sini!"

"Kenapa gue harus nurutin perintah lo?"

"Jangan konyol, Raka! Sekarang bukan saatnya kita bertengkar! Jadi diam, dan ikuti saja permainanku!"

Tanpa ragu-ragu, Rei keluar dari persembunyian. Berjalan biasa seakan tidak memiliki niatan buruk kepada si pemilik mansion. Dua orang penjaga yang sadar akan kehadirannya langsung waspada. Salah satunya menghalangi jalan Rei. "Siapa? Ada perlu apa?"

"Kau tidak sopan, ya. Aku sudah ada janji dengan Pak Surya."

"Janji apa?"

"Ck!" Rei mendecak kesal. Dia membuka tas hitam kecilnya dan mengeluarkan sesuatu. Dua kantong kecil serbuk putih, yang langsung dia masukkan kembali ke tempatnya semula. "Tolong beritahu Pak Surya kalau Veranda datang! Handphone-ku tertinggal di mobil."

Si penjaga berbicara dengan rekan lain yang berada di dalam mansion melaui handy talky. Meminta tolong untuk menghubungi si pemilik mansion terkait kedatangan tamu yang entah akan dia sadari atau tidak.

Meski dalam waktu sebentar, Rei selalu mempersiapkan segala hal dengan baik. Bahkan dia sempat meneliti siapa orang yang akan dia temui. Saat itu dia mendapatkan data Surya, yang mengatakan bahwa lelaki tersebut sering datang ke sebuah bar di kota. Rei menghubungi Qirani untuk mencari informasi, hingga didapatkan sebuah nama wanita yang selalu menjadi langganan Surya. Bahkan Rei mendapatkan kontak wanita tersebut dan langsung menghubunginya. Semua sudah benar-benar diperhitungkan.

Padahal bisa saja Rei bertanya kepada Raka yang seharusnya sudah melakukan penyelidikan sebelum melancarkan aksinya. Tapi, itu lebih merepotkan dibanding harus berusaha seorang diri.

Sembari menunggu, Rei berlagak menjadi gadis pesolek sembari menggoda si penjaga yang sedang tidak sibuk. Dia mengedipkan sebelah mata sembari tersenyum kecil. Lelaki yang dilihat sedikit salah tingkah dibuatnya. Tampak kesulitan menelan ludah. Hal itu yang Rei sukai saat menjebak mangsa. Tapi sayangnya, kali ini bukan orang itu yang menjadi incaran.

"Hei, kau boleh masuk," ujar si penjaga yang sudah selesai berdiskusi.

"Ugh, akhirnya! Kakiku sampai pegal."

Rei pun berjalan cepat, masuk ke dalam mansion. Dia kembali disambut dengan dua penjaga bertubuh kekar. Wajah mereka sama kerasnya dengan Shan, tapi lemah jika harus dihadapkan dengan wanita. Keduanya menatap lekat Rei sembari sesekali menelan ludah.

Lihat selengkapnya