Perempuan Tanpa Nama

Daras Resviandira
Chapter #10

Chapter sembilan

"Sekarang giliran Shan, ya? Dasar murahan."

Lagi-lagi Rhea muncul di hadapan Rei dengan tiba-tiba, dan mengucapkan sesuatu yang terdengar konyol di telinganya. Padahal baru saja Rei merasa hari ini bisa digunakan untuk beristirahat, karena sedang tidak memiliki tugas apa pun. Tapi sebuah gangguan tidak pernah berhenti mendatanginya.

"Seingatku... aku gak pernah sekali pun mengganggu hidupmu. Kenapa kamu gak pernah mau membiarkanku tenang?"

"Tidak pernah mengganggu hidupku, katamu? Dengan kamu hidup saja sudah menganggu!"

"Lho, aku lebih lama ada di sini daripada kamu. Kenapa jadi aku yang disalahkan?"

"Tutup mulutmu!"

Emosi Rei mulai terpancing, tapi dia masih bisa menahannya agar tidak perlu membuang tenaga percuma. "Oke," ucapnya sembari berjalan melewati Rhea.

Tanpa disangka, Rhea membalikkan badan dengan cepat, menjambak rambut belakang Rei dan mendorong kepala musuhnya itu dengan keras hingga membentur tembok.

Rei jatuh berlutut sembari memegangi dahi. Retakan pada tembok yang tajam membuatnya sedikit berdarah. Napasnya mulai memburu akibat emosi yang kini sudah tidak bisa terbendung. Selama ini dia menahan semua itu karena tahu kemampuannya ada di atas Rhea. Dan perempuan tersebut bisa saja terluka parah jika harus menerima serangan darinya. Tapi kali ini keadaan sedang tidak baik. Hujan yang sedari pagi turun membuat mood Rei bertambah parah.

Keberadaan Rei dan Rhea yang berada di halaman belakang tidak disadari oleh siapa pun. Ditambah lagi karena suara hujan yang cukup berisik. Dan orang-orang lebih memilih untuk mendekam di dalam kamar masing-masing.

Rei bangkit dengan cepat, mencengkram leher Rhea, lalu menariknya mendekat. "Kau membuat kesabaranku habis."

Rhea berusaha melawan, tapi Rei jauh lebih unggul. Sebuah vas bunga berhasil dibuat hancur karena dipukulkan dengan kencang ke arah kepala Rhea yang mulai mengalirkan darah. Perempuan berambut pendek tersebut terjatuh ke atas rumput basah. Air hujan membuat pandangannya tidak jelas, sehingga terlambat menyadari keberadaan Rei yang makin mendekat.

Rei membawa kursi besi yang hendak dia ayunkan ke arah Rhea. Sudah tidak tersisa sedikit pun rasa belas kasihan pada dirinya. Hanya tertinggal emosi yang sudah siap diluapkan pada salah satu sumber yang selalu membuatnya naik pitam.

Entah disebut beruntung atau tidak, saat itu Shan datang dan berhasil menghentikan Rei di saat yang tepat. "Cukup!" Dia mencengkram pergelangan tangan wanita di hadapannya dengan sedikit kencang.

"Jangan ikut campur, Shan," ucap Rei dengan nada dingin.

"Tidak bisa."

Akhirnya Rei menyerah, meski emosinya masih bergejolak. "Oke, oke. Aku akan berhenti. Lepaskan tanganku!"

Shan melepas cengkramannya. Dan Rei langsung berbalik badan, mulai berjalan menjauh dari Rhea. Dia yang masih belum puas melampiaskan amarah, melempar kursi ke arah pintu kaca yang langsung pecah. Suara nyaringnya berhasil mencuri perhatian beberapa orang yang ada dalam markas.

"Suatu saat topengmu akan terbuka. Dan semua orang akan berbalik membencimu!" teriak Rhea yang masih terduduk di bawah air hujan. "Kamu akan kehilangan segalanya. Ingat itu, Reina!

Rei berusaha mengabaikan hal itu dan berjalan masuk dengan tangan terkepal. Shan mulai khawatir karena merasa kedua perempuan tersebut tidak bisa dibiarkan sendirian. Meski sepele, hal itu bisa menjadi cikal bakal dari masalah besar bagi organisasi mereka, pikirnya.

"Kamu belum kapok juga." Shan mengulurkan tangan untuk membantu Rhea berdiri. Namun ditepis begitu saja oleh orang bersangkutan.

"Lebih baik kamu bantu saja dia. Kamu juga sama kan, sudah terpancing oleh pesonanya yang menjijikkan itu? Semua sama saja!"

Shan yang ditinggal sendirian masih terdiam. Dia mendongakkan kepala, membiarkan air hujan menyentuh wajahnya. "Wanita memang rumit."

***

'Plak!' tamparan mendarat pada wajah Rei, beberapa saat setelah Rhea mendapatkan bagiannya lebih dulu.

"Aku paling tidak suka jika harus menghajar perempuan. Terutama cucuku sendiri. Tapi kalian pantas mendapatkannya."

"Maaf, Kek," ucap Rhea.

"Kalian orang-orang spesial yang aku harapkan bisa menjadi penggerak organisasi kita. Jika kalian sendiri pincang, kita bisa hancur. Aku mendidik kalian bukan untuk melakukan kebodohan seperti itu." Kakek kembali duduk pada kursinya. Berusaha menenangkan diri dari emosi yang sudah beberapa hari ini selalu meledak.

"Aku sudah tidak habis pikir kenapa kalian semua mulai berantakan seperti ini. Sampai dengan tahun lalu, kalian masih bersinar. Aku selalu senang jika mengingat masa-masa itu. Tapi, sekarang kalian mulai mementingkan ego masing-masing. Apa aku terlalu memanjakan kalian?"

Kakek mengangkat tangan, memberikan tanda agar semua orang keluar dari ruangan. Di luar, Setra duduk dengan tidak tenang. Qirani dan Raka pun ada di sana karena penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.

"Hei, are you okay?" Setra langsung bangkit dan mendekat ke arah Rei yang masih sedikit tertunduk. Menyingkapkan rambut yang menutupi luka pada dahi Rei.

Rhea hanya melirik sinis sambil berjalan ke arah kedua temannya.

"Berantem lagi?" tanya Qirani sembari cekikikan. Dia sangat penasaran dengan kejadian yang sedikitnya memberi perasaan kecewa, karena tidak bisa menyaksikan secara langsung.

"Hanya sedikit memberi pelajaran kepada perempuan penjilat tukang selingkuh," jawab Rhea dengan suara keras. Sengaja agar semua orang mendengarnya.

Tanpa berkata apa pun, Rei pergi. Bahkan keberadaan Setra pun diabaikannya. Lelaki tersebut tidak berusaha mengejar, karena merasa sang kekasih sedang butuh waktu sendiri untuk menenangkan pikiran.

"Nyali lo gede ya, sampai berani nantang cucu kesayangan Kakek," sambung Raka sambil tertawa.

"Aku tidak akan puas sampai dia meminta ampun."

"Rhe, aku mohon jangan dilanjutkan," ucap Setra sehalus mungkin. Berusaha agar keadaan tidak menjadi lebih buruk dibanding sekarang.

"Sudah saatnya kamu membuka mata, Setra. Dia bukan perempuan yang pantas dipertahankan. Bahkan aku yakin kamu tidak tahu kalau dia main belakang dengan Shan, kan?"

"Tidak ada gunanya kamu mengomporiku." Setra mulai berjalan menjauh.

"Aku tidak bohong," sahut Rhea lagi. Dia terdiam hingga keberadaan Setra sudah benar-benar tidak terlihat. "Tidak bisa. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menghancurkan perempuan itu."

"Huh, gue jauh lebih lama tersiksa dari sejak dia datang ke sini. Seenaknya ngerebut hati Kakek dan bikin gue ngerasa kayak sampah!" sambung Raka.

"Kita harus melakukan sesuatu."

"Waw, kayaknya seru," komentar Qirani. "Tapi inget lho, kalau salah langkah bisa gawat. Dia kan punya banyak tameng. Kakek, Setra, sekarang Shan."

"Kamu benar Qirani. Yang harus kita lakukan adalah melunturkan kepercayaan orang-orang itu padanya."

Sementara itu, Rei tidak pergi ke kamarnya. Dia justru diam di beranda lantai dua. Memandangi benteng tinggi dengan tatapan kosong, sembari membiarkan suara hujan menenangkan pikiran. Biasanya dia tidak suka musim hujan, karena membuatnya harus mendekam di dalam markas seharian. Tapi kali ini, suara itu dan bau tanah itu jauh lebih baik daripada apa pun. Dia hanya butuh waktu sendiri menikmati keadaan seperti ini.

'Kamu mau disukai karena berbuat baik. Atau disukai karena berbuat sebaliknya?'

"Kakek lembut sekali kepada perempuan."

Lihat selengkapnya