Perempuan Tanpa Nama

Daras Resviandira
Chapter #11

Chapter sepuluh

'Aku selalu bingung kenapa kamu bisa sebaik ini kepada orang yang belum lama kamu kenal?'

'Memangnya tidak boleh?'

'Bukan begitu. Apa kamu bisa percaya pada orang lain semudah itu?'

'Tentu saja tidak.'

'Lalu, kenapa kamu mau membantuku?'

'Karena aku percaya kamu.'

'Kamu akan terluka kalau ternyata aku tidak sebaik yang kamu kira.'

'Semua orang terlahir sebagai orang baik. Dan sehitam apa pun hidupnya, pada akhirnya akan selalu ada kesempatan baginya untuk kembali.'

"Rei!"

"Ya?"

Rhea dan Rei saling pandang. Lalu mereka terdiam. "Maaf, gimana?" tanya Rei dengan sedikit linglung.

"Kakek bilang aku dan Raka yang akan pergi," sambung Setra, sebelum emosi Rhea terpancing.

Rei baru saja tersadar kalau kepalanya sempat kosong untuk beberapa saat. Pikirannya pun mengawang, teralihkan oleh hal lain. "Oh... oke," jawabnya sembari mengangguk-angguk. Padahal dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang orang-orang bicarakan sejak tadi.

"Lalu kamu bagaimana?"

"Apanya?"

"Huh, apa baik-baik saja kalau kita percayakan pekerjaannya ke dia? Bahkan saat meeting saja masih sempat tidur!" protes Rhea.

"Ada permintaan untuk memasang bom di suatu tempat. Kakek menawarkannya padamu," sambung Setra lagi.

"Aku ambil," jawab Rei dengan cepat. Seakan tanpa dipikirkan lebih dulu.

"Siapa yang mau kamu ajak?" tanya Kakek.

"Biar aku saja." Shan langsung menawarkan diri dengan cepat.

Setra pun menyahut tidak kalah cepatnya. "Bukan kamu yang bisa menentukan siapa yang akan pergi!"

"Bukan kamu juga yang punya hak untuk menolak saranku," balas Shan.

Rei yang menangkap suasana tidak mengenakkan di sekelilingnya, lekas masuk ke tengah perdebatan. "Tidak perlu. Biar aku lakukan sendiri," ucapnya mantap. Tapi siapa sangka keputusan yang tergesa-gesa itu akan mengantarkannya kepada hari menyakitkan. Di mana dia harus merasakan kegagalan untuk pertama kalinya.

Semua orang terdiam mendengar perkataan Rei. Tidak ada satu pun yang menolak, bahkan Kakek sekali pun. Hanya satu orang yang tersenyum dalam hati dibuatnya. Seakan keputusan Rei merupakan pilihan yang tepat karena sesuai dengan apa yang dia inginkan.

'Masa lalu itu bisa diubah, Rei. Tidak selalu menjadi penentu seperti apa hidup kita ke depannya. Banyak orang keliru, karena berpikir mereka akan terus menapaki jalan yang salah karena sudah terlanjur tersesat sejak awal. Padahal itu tidak benar, mereka masih bisa memilih jalan yang bebeda'.

Beberapa jam sebelum pergi, Rei membaca semua berkas yang ada. Dia mempelajari denah gedung yang menjadi sasaran, seperti apa keamanannya dan lain-lain. Entah kenapa kali ini dia merasa lebih kesulitan di banding biasanya karena tidak bisa konsenterasi. Bahkan nyalinya sedikit ciut meski tidak memiliki pilihan untuk mundur.

Setelah membuka pintu mobil dan menyimpan barang-barang, dia sendiri tidak lekas masuk. Justru terdiam memandang ke satu titik dengan pikiran kosong. Padahal tadinya dia bermaksud mengingat-ingat, kalau saja ada hal yang tidak sengaja terlewatkan.

"Kamu sadar tidak wajahmu pucat?" Suara lelaki yang baru saja datang membuyarkan lamunan. Lagi-lagi sosok yang tidak diinginkan muncul.

"Berhenti mengangguku, Shan!"

"Yakin tidak butuh back up?"

"Sejak kapan aku membutuhkannya?"

Rei bermaksud mengambil tas pinggang yang masih terdiam di atas mobil, tapi Shan tak berhenti membuatnya kesal. Lelaki tersebut mencengkram tas yang ada dan membuat si pemilik tidak bisa lekas pergi. "Maumu apa, sih?! Sumpah, aku kehilangan kesabaran!"

"Aku merasa kamu sedang tidak baik-baik saja."

"Ya, terus? Apa urusannya denganmu? Minggir!" Rei menarik tasnya dengan sekuat tenaga. Bergegas masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya keras sekali. Mobil pun melesat dengan cepat.

Kondisi Rei agak kurang baik hari ini. Tapi dia berusaha menyangkal hal itu dan melancarkan aksinya seperti biasa. Berusaha meyakini diri sendiri bahwa misi hari ini akan selesai dengan sempurna seperti biasa.

Rei menyamar untuk menyusup masuk ke dalam gedung sebuah stasiun televisi. Klien dari pekerjaannya kali ini meminta bantuan untuk memasang peledak si sebuah studio—yang akan digunakan untuk melaksanakan interview secara live. Dan pada saat siaran berlangsung, mereka ingin kembang api tersebut meledak sembari disaksikan semua orang di penjuru negeri.

'Bukan kamu yang menentukan berhak atau tidaknya untuk mengetahui sesuatu!'

"Hah?" Rei membalikkan badan dengan cepat. Agak terkejut saat mendengar suara seseorang yang dia yakini ada di dekatnya. Tapi tak ada seorang pun di tengah lorong tempatnya berada saat ini.

'Apa kau tidak bisa diam dan menuruti apa kataku?'

Lagi-lagi suara yang sama terdengar. Kali ini Rei sadar semua itu berasal dari dalam kepalanya. Dan terasa sangat menganggu.

"Kenapa harus muncul di saat seperti ini?!" keluhnya sembari menjambak rambut dengan kedua tangan. Kepalanya sempat berputar untuk beberapa saat akibat suara-suara yang bermunculan. Hingga membuatnya terpaksa diam di dalam kamar mandi untuk menenangkan diri.

Gangguan yang muncul membuat Rei baru bisa menyelesaikan misinya dalam dua jam. Waktu yang lebih lama dibandingkan dengan prediksinya. Tapi dia tetap menyelesaikan pekerjaan dengan lancar seperti biasa. Semua itu bukan hal yang sulit, kalau saja tidak terhambat oleh gangguan kecil. Terlalu mudah untuk ukuran pekerjaan yang lumayan besar, pikirnya.

Setelah kembali ke lokasi mobilnya terparkir, Rei terdiam untuk beberapa saat. Kepalanya masih terasa sedikit berdenyut. Dia tidak habis pikir, entah apa yang membuat keadaannya mendadak jadi seburuk ini. Padahal, semalam tidurnya sudah dirasa cukup dan pola makannya pun dijaga dengan baik.

Jika dipikirkan baik-baik, kepalanya bereaksi bukan karena memikirkan pekerjaan. Melainkan semakin terganggu dengan kelebatan masa lalu yang tidak pernah mau membiarkannya tenang. Mungkin hal itu pula yang membuat perasaannya sering berubah jadi tidak enak. "Kenapa kamu tidak berhenti menggangguku, Cakra..." ucapnya kesal.

Rei baru sadar kalau mimpi buruknya muncul semakin sering belakangan ini. Bahkan kelebatan memory yang datang secara tiba-tiba pun selalu berhasil membuatnya kehilangan konsentrasi. Hari ini menjadi yang terparah, karena suara yang muncul terasa sangat nyata. Seakan orang dalam masa lalunya itu benar-benar ada di dekat sana.

Padahal seumur hidup dia tidak pernah dihantui oleh sosok siapa pun. Tapi kali ini orang bernama Cakra itu seakan berhasil menorehkan luka tak kasat mata yang terus membuat Rei merasa bersalah. Meski orang tersebut menjadi satu-satunya korban yang dia biarkan tetap hidup. Apakah justru semua muncul karena orang itu masih ada di dunia ini? pikirnya.

'Priitt!' Suara peluit tukang parkir menyadarkan Rei kalau dia sudah diam di dalam mobil cukup lama. Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, dan melesat agar dapat sampai sebelum pertunjukan kembang apinya dimulai.

Saat sampai di markas, semua orang sudah bersiap di depan televisi untuk menyaksikan tayangan menarik yang akan disiarkan sebentar lagi. Rei duduk di samping Setra yang langsung merangkulnya. Lalu mengecek jam tangan, memastikan bahwa dia tidak salah mengeset timer bom tadi. Dia yakin waktunya akan tepat seperti yang di-request oleh sang klien.

"Kamu masih ingat 'festival kembang api' kita beberapa bulan lalu?" tanya Rei masih sembari menatap ke layar televisi.

"Gak mungkin bisa lupa."

"Ini gak akan jadi sebesar dulu. Tapi spesial karena disiarkan langsung."

"Iya, tentu saja."

"Meski orang-orang mungkin hanya akan mengira ada gangguan sinyal."

Lihat selengkapnya