“Maafin aku, Ar. Tapi inilah keputusan yang harus kuambil. Aku akan kembali ke keluargaku, kamu lanjutkan hidupmu dan carilah laki-laki yang bisa membahagiakanmu.”
“Apa!!! Semudah itu kamu bilang maaf, lupakan, dan aku harus terima keputusanmu!? Setelah apa yang kita lakukan, Pras? Di mana hatimu? Di mana nalurimu? Mana tanggung jawabmu? Kamu bilang akan menikahi aku? Mana! Mana!”
Teriakan dan tangisan seorang wanita di depan laki-laki yang mematahkan semangat hidupnya menjadi awal kehancuran sekaligus dendam Ariska Fransiska, perempuan yang selama setahun menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang berstatus milik orang lain tapi dengan umbaran janji dan kata-kata manisnya membuat Ariska percaya dan bahkan rela berbohong pada keluarga besarnya akan status laki-laki tersebut.
“Mungkin inilah karmaku, Pras! Mungkin inilah akibat yang harus kuterima karena telah berbohong pada keluargaku! Tapi asal kau tahu, kulakukan itu semua karena aku percaya padamu!” teriakan demi teriakan Ariska seolah tak digubris oleh Pras. Ia memilih diam dan menundukkan kepala, entah penyesalan atau telinganya mulai panas karena suara Ariska.
“Jika hubungan kita dilanjutkan pun akan sangat sulit, Ar. Tolong berpikirlah dengan logika,” ucap Pras tenang dan tampak santai.
“Yah, sulit! Sulit karena kamu nggak mau berjuang dan berusaha! Sulit karena kamu udah nyerah! Sulit karena selama ini kamu hanya mempermainkanku! Sejak awal niatmu hanya iseng dan coba-coba! Iya ‘kan?”
“Terserah apa katamu, Ar. Aku terima apapun ucapanmu, yang jelas aku minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Kini aku sadar, keluargaku yang paling penting. Istri dan anak-anakku … mereka yang harus diutamakan. Maaf ….”
Ariska terdiam, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Begitu pula halnya Pras, ia dengan cepat balik badan dan meninggalkan Ariska tanpa peduli hancur dan sakitnya perempuan yang selama setahun ini telah dipacarinya.
“Kamu jahat Pras! Kamu jahaaaatt!!!” teriakan Ariska seakan tertutup oleh hujan yang tiba-tiba mengguyur tubuhnya. Seolah alam pun ikut merasakan kesedihan wanita 30 tahun ini.
***
“Lho, Ar! Kenapa bajumu basah semua? Emang nggak bawa payung?” cecar sang Ibu melihat Ariska tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup.
“Lupa, Bu.” Ucap Ariska langsung beranjak ke kamarnya.
“Yaudah, kamu mandi pake air hangat terus makan, Ibu udah masak rawon kesukaanmu tuh.”
Ariska hanya mengangguk. Tiba di kamar, tubuh kuyupnya terduduk lemas di lantai kamarnya. Ia tak memedulikan dingin yang menyelimuti tubuh padatnya. Hanya tangisan yang menguar di kamar redupnya. Hatinya hancur, jiwanya remuk, semua ucapan laki-laki yang ia cinta hanyalah untaian dusta yang akan terus diingat seumur hidupnya.
Keesokan paginya, Ariska terbangun dengan pakaian yang sama seperti yang ia kenakan kemarin. Tak merasakan lagi sakit serta wajahnya yang pucat, ia bersiap berbenah dan pergi ke kantor.
“Ariska, kamu nggak makan semalam? Ibu udah siapin padahal,” ucap Ibu sembari menyiapkan sarapan untuk putri semata wayangnya. “Astaghfirullah, Nak! Muka kamu pucat banget, kamu sakit?” Sang Ibu menghampiri dan memegang kening putrinya. “Panas. Kamu demam, ini pasti karena hujan semalam, kamu nggak mandi, ya?” cecar sang Ibu.
“Ariska nggak apa-apa, Bu. Tenanglah, jangan lebay gitu.”
“Ngomong-ngomong, kamu masih hubungan sama laki-laki Pras itu?”
Ariska yang hendak menyendok nasi goreng di hadapannya, seketika menghentikan laju tangannya. Ia melihat sang Ibu seraya berkata, “Kenapa nanya dia Bu? Ibu nggak percaya Ariska udah nggak ada hubungan dengan dia?”
“Bukan Ibu nggak percaya, cuma tanya aja. Nggak boleh? Lagian Ibu kurang sreg kalau kamu sama dia.”