Ariska sangat terkejut saat melihat pesan yang masuk ke nomor ponselnya. Dengan mata terbelalak, ia membaca sebuah pesan yang mengatakan jika sang pengirim pesan adalah istri Pras.
“Aku tak akan membacanya!” Ariska mematikan ponselnya dan Sandra melihat sikap sahabatnya itu.
“Kenapa lagi, Ar?” tanyanya.
“Nggak apa-apa.”
Sikap dan nada bicara Ariska yang dingin membuat Sandra tak nyaman. Ingin sekali ia menghajar laki-laki yang telah membuat sahabat baiknya itu berubah.
“Ambil cuti, Ar. Elu juga udah kerja keras setahun ini. Saatnya me time,” ujar Sandra melihat Ariska yang terus galau.
“Sayang, San. Aku masih belum butuh cuti banget. Nantilah kalau ada acara atau urusan mendadak, baru aku cuti.”
Sandra hanya menghela napas. “Terserah Elu deh, Ar. Gue cuma ngingetin badan Lu tuh butuh istirahat juga, apalagi otak Lu. Duit banyak tapi otak nggak sehat Ama badan sakit, apa gunanya!”
Ariska tak menanggapi ocehan Sandra. Matanya hanya tertuju pada berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Sebenarnya apa yang dikatakan Sandra ada benarnya, mungkin dirinya terlalu lelah karena selama ini hanya karir yang dipikirkan Ariska sebelum Pras datang di hidupnya. Setelah bertemu Pras, hidup Ariska memang penuh warna, tak se-monoton sebelumnya, tapi jika sekarang dirinya mengambil jatah cuti, mau pergi ke mana? Dengan siapa? Toh, tak ada yang bisa diajak.
“Kamu aja yang ambil cuti, San. Lagipula, kamu dan Vito ‘kan udah pacaran lama. Kenapa nggak nikah sampai sekarang?” balas Ariska yang membuat Sandra langsung terbatuk.
“Hei, kita langi bicarain Elu sama si Prasmanan itu, ya! Nggak ada hubungannya ama gue dan Vito! Lagian, kita masih mau hepi-hepi. Ntar kalau udah nikah baru termehek-mehek,” balas Sandra sedikit tak senang.
“Barusan istrinya Pras WA aku.”
Sandra yang hendak melanjutkan kerjanya seketika berdiri dan mendekati Ariska. “Serius Lu? Bininya Pras?” Sandra celingak-celinguk, takut-takut jika ada karyawan lain mendengar.
Ariska mengangguk. Ekspresi wajahnya menyiratkan kecemasan dan ketakutan, ia tak menyangka jika hubungannya dengan Pras akan menuai masalah berkepanjangan, meski mereka sudah tak lagi memiliki hubungan.
“Bininya WA apa?” penasaran Sandra.
“Entahlah, aku tak membacanya. WA-nya langsung kuhapus.”
“Aduh, Ariskaaaaaa!!! Elu dodoool banget, sihhh! Gemes gue! Kalau Elu nggak mau baca, biar gue yang baca! Penasaran sama bininya gue! Mo ngomong apa, sih!”
“Udahlah, San. Aku udah nggak peduli lagi soal Pras. Biarkan dia hidup tenang dengan keluarganya,” lirih Arsika.
“Dan Elu yang menderita sekarang! Bucin geblek, sih Elu kemaren-kemaren! ‘Kan gue udah bilang udahan … udahan Ama itu laki-laki, Elunya nggak percaya!” kekesalan Sandra semakin menjadi-jadi. Ia tak rela sahabatnya seperti mayat hidup.
“Tapi aku udah melupakannya, San,” kilah Ariska.
Sandra melihat Ariska dengan tatapan tajam. “Elu dipelet, ya?”
“Astaghfirullah, ya enggaklah, San. Masa iya Pras pelet aku, mana mungkin.” Ariska memalingkan wajahnya, Sandra terus menatap sang sahabat dan kemudian berkata, “Kayaknya Elu emang perlu waktu sendiri, Ar. Kalau ada apa-apa telpon gue ya, awas kalau enggak!”