Aku bukanlah Dewi Sinta, yang meminta tubuhnya untuk dibakar hidup-hidup oleh Ramawijaya demi membuktikan kesetiaan selama dua belas tahun dalam sekapan Dasamuka. Aku tidak dilindungi oleh Batara Agni seperti halnya Dewi Sinta yang melindungi tubuh dan pakaiannya agar tidak terbakar.
Namaku Tessa. Usiaku tiga puluh tahun. Hidupku menjadi tak biasa semenjak empat tahun lalu. Hari itu adalah hari di mana kehidupanku berubah drastis. Oleh sebab pertengkaran kami, suamiku menyiramkan minyak tanah ke tubuhku. Lantas tubuhku terbakar, hampir sembilan puluh persen. Secara refleks aku mencari air dan menyiram ke seluruh badan. Tak hanya dengan gayung tetapi dengan ember kecil. Beberapa guyuran. Aku kaget, masih ada nyala api di tubuhku. Rupanya sebelum mengguyurkan minyak tanah ke tubuhku, suamiku telah mengunci rapat-rapat rumah kontrakan. Ketika aku berteriak-teriak, tidak ada seorang pun yang datang menolong.
Sudah dua bulan ini aku tinggal di rumah kos yang kami bayar delapan ratus ribu per bulan. Masih kuingat jika tiga dari empat kamar kontrakan, penghuninya bukan berasal dari Jawa. Mungkin mereka tidak mendengarkan teriakanku. Mereka tidak ada yang aku kenal. Jadi ketika aku berteriak, jangankan menolong, mereka mendekat pun tidak.
“Ampun...ampun...ampun, Pah,”akhirnya aku mengiba kepada suami dengan raga lemah dan sakit yang tiada tara. Seluruh bagian tubuhku terbakar, dan hanya menyisakan wajah, serta tangan kiri. Setelah beberapa saat baru kusadar, jika ada sebagian kecil wajahku pun terpecik api. Teriakanku mulanya tak digubrisnya. Aku sudah tidak sanggup lagi melihat tubuhku, yang kulitnya telah menyatu dengan kain baju.
Suamiku, dialah satu-satunya makhluk yang saat itu aku bertumpu untuk meminta pertolongan. Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin melihat dan mengasuh anakku. Sudah dua bulan aku tidak bertemu dengannya. Rasa kangenku sebagai ibu hanya bisa kutitipkan kepada angin lalu yang akan mengantar dari tempatku tinggal saat ini di ujung Indonesia Timur, menuju kota raya dengan slogan budaya adiluhung.
Aku masih ingat, sebelum puncak kemarahannya yang membuat ia menyulut korek api dan mengguyur tubuhku dengan minyak tanah, kami sempat adu mulut. Masih kuingat pula, topik pertengkaran kami mengenai anak, atau hal lain yang remeh-temeh, tak penting. Sampai kemudian puncak pertengkaran kami disulut oleh api cemburu. Suamiku cemburu kepada kakak iparnya. Entahlah bagaimana pikiran buruk itu hinggap di kepalanya.
Tentu perasaan cemburu tidak datang secara tiba-tiba karena sejak pertama dulu aku membina rumah tangga dengannya, ia suka memainkan pikirannya sendiri, rasa cemburu, yang berlebihan kepada orang-orang yang kebetulan berelasi denganku. Padahal yang ia cemburui adalah orang-orang yang ia kenal. Tapi sungguh, aku tak mengira, tragedi sore itu adalah puncak kejahatan yang dilakukan oleh suamiku.
“Aku akan menolongmu, tapi awas ya! Kamu jangan bilang kalau aku yang melakukannya. Kamu harus ngomong ke orang-orang kalau kejadian ini karena kompor meleduk!”ia berkata begitu tanpa beban dosa. Entah setan mana yang merasukinya saat itu. Aku hanya berpikir bahwa aku harus hidup, dan untuk itu ada yang harus membawaku ke rumah sakit. Satu-satunya harapanku adalah dia, suamiku.
Sebutlah namanya Rio, suami yang dengannya aku akhirnya memiliki buah hati yang sekarang berumur sembilan tahun. Sejak menikah, hanya beberapa waktu saja kami tinggal dalam rumah kontrakan. Di rumah kontrakan ini, sudah terlihat tabiat buruknya, temperamental. Jika sedang marah, ada-ada saja barang-barang rumah tangga yang menjadi sasaran. Ia pernah membanting pesawat televisi, juga dispenser.