Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #2

Mirip Seperti Kehidupan di "Slumdog Millionaire"

“Pernikahan bagiku adalah aku kerja, dan suamiku juga kerja. Seumpama diberi anugerah anak ya tidak apa-apa. Sesederhana itu.”

Aku lahir di sini. Rumah yang usianya hampir tiga puluh tahun. Aku anak kelima dari delapan bersaudara. Empat kakakku lahir di rumah sebelumnya. Mulai kelahiran diriku kemudian bergiliran ketiga adikku lahir di rumah ini. Sebelumnya kami tinggal di kecamatan yang berbeda. Di sana Ayah dan Ibu mengontrak. Lalu setelah lahir dan tumbuh besar di rumah ini seturut usiaku untuk masuk sekolah, aku bersekolah di SD negeri tak jauh dari rumah. Dengan bersepeda, malah terkadang hanya dengan jalan kaki aku sudah sampai sekolah. Setelah SD aku melanjutkan ke SMP. Nah, setelah tamat SMP itu kemudian muncul ideku untuk langsung bekerja. 

 Aku tidak ingin melanjutkan ke jenjang SMA. Oleh karena ketiadaan biaya, juga karena aku tidak mau membebani ayahku yang bekerja atas upah budi baik orang. Ibuku yang bekerja sebagai pedagang kecil di pasar juga tak berpenghasilan besar. Dengan bekerja maka selain aku tidak menambah beban, aku juga bisa membantu biaya sekolah adik-adikku. Biarlah mereka nanti yang bersekolah di bangku SMA. Aku cukup bersekolah di SMP saja.

 Kalian pernah menonton film “Slumdog Millionaire” film drama romantik India yang dirilis tahun 2008? Mungkin latar kemiskinan dalam film itu sama denganku. Tetapi aku bukan bocah yang berlari mengejar hadiah hingga milyaran rupiah. Kesamaan kehidupanku adalah kami sama-sama miskin. Meski ‘challenge’ kami sama-sama seru untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Aku dengan menanggalkan bangku sekolahku, Dev Patel memerankan filmnya dengan meraih sejuta mimpinya. Aku menganalogikan bagaimana kehidupanku sehari-hari tidak jauh dari suara bising kereta api, tanpa jeda sehari pun. Kalian bayangkan, jarak pintu rumah dengan rel kereta api itu hanya sependek lima langkah saja.

 Belum lagi rumah ini berbatasan dengan sungai yang cukup besar. Jadi rangkaian perlintasan kereta api ini berada di atas sungai. Jika senja tiba, siluet warna sinar matahari sering bertengger di atas rel perlintasan kereta api yang berada di atas sungai. Pemandangannya indah sekali. Sesekali aku memandang pemandangan tersebut saat sore tiba. Tapi, ah ternyata waktuku banyak kuhabiskan bekerja di pabrik dari pagi sampai sore. Tubuhku benar-benar kuabdikan dengan bekerja sehingga aku jarang libur.

 Setidaknya ketika aku bekerja di pabrik dan mendapat upah mingguan, ada barang-barang kebutuhan sehari-hari yang bisa aku belikan untuk keluarga seperti sabun, odol dan sabun cuci. Sesekali aku juga membelikan beras. Maklum saja anggota keluargaku ada sepuluh orang dan dan semua membutuhkan kebutuhan hidup seperti kuceritakan di atas. Sesekali aku juga membeli baju impianku, karena sebagaimana anak muda lainnya, aku tetap ingin tampil modis. 

 Aku memang bukan tulang punggung, tetapi aku sadar betul, bahwa tidak semua kebutuhan hidup bisa tercukupi hanya oleh seorang atau dua orang saja di rumah ini. Aku memiliki rasa tanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan. Kukubur impianku untuk melanjutkan sekolah. Toh, aku sudah dibekali dengan kepandaian membaca dan matematika. Toh dengan membaca, termasuk membaca situasi keluargaku, serta belajar berhitung, yakni menjumlah berapa penghasilan Ayah dan Ibu. Aku jadi mengerti bagaimana hidup ini penuh dengan perhitungan-perhitungan. Dan selalu kurang. Ingat kan kalian, ada sepuluh kepala tinggal di rumah ini.

 Nasib baik itu tidak datang secara tiba-tiba. Keberuntungan harus diperjuangkan.Tidak ada privilege atau hak istimewa yang aku punyai. 

 Di rumahku yang sangat sederhana ini, dan hanya terdiri satu ruangan saja, meski bertembok bata dan berlantai keramik, tidak banyak yang mampu aku lakukan untuk sekadar bergerak. Maka ketika hendak ke kamar mandi pun kami harus mengantre. Meski jarak ke rumah tetangga juga amat dekat, saking dekatnya, bahkan kami juga sering mendengar suara-suara tetangga saat mereka bercandaan, dan kadang kudengar pula pertengkaran-pertengkaran. Terkadang suara dengusan dan lenguhan saat ada yang sedang beradu asmara pun kudengar.

Ya, kami memang menempati tanah milik PT KAI, bukan tanah legal. Kami sudah tiga puluh tahun lamanya tinggal di sini. Jika harus mengontrak, sudah berapa puluh juta uang yang harus kami keluarkan untuk membayar setiap tahun. Jadi meski menempati tanah ilegal, tetapi kami dan para tetangga ya nyaman-nyaman saja tinggal di area padat penduduk ini. 

Lihat selengkapnya