Pernikahan yang kujalani akhirnya terjadi. Meski hanya menggelar upacara ijab dan qabul, namun ada beberapa tetangga dan kerabat yang hadir. Dari pihak suamiku, Rio, juga hadir semua keluarga dan keluarga besar. Acara yang sederhana tetapi tetap kami syukuri. Meski di dalam hati aku berbisik, “ini terlalu cepat, mestinya aku masih harus menunggu untuk menyesuaikan diri.”
Aku harus ikut Rio ke tanah perantauan tidak lama setelah menikah. Seperti yang pernah kukatakan, menikah itu artinya adalah aku bekerja dan suamiku bekerja, artinya kami berdua akan mengumpulkan uang.
Rio bekerja kepada kakaknya yang memiliki usaha pabrik roti. Pabrik roti itu milik kakak perempuannya. Suamiku sebagai tenaga pemasaran. Ia memasarkan hasil pabrik milik kakaknya itu ke warung-warung dan toko. Ia sudah memiliki pelanggan tetap. Jadi mudah saja ia bekerja karena tinggal menaruh barang. Kadang ia punya target untuk mencari pelanggan baru, tapi itu seperti berjalan dengan sendirinya ketika ia menemukan warung atau toko baru.
Tidak menunggu terlalu lama, aku hamil anakku. Masa kehamilan kulalui dengan tetap bekerja untuk mengumpulkan rupiah. Sedangkan Rio masih berjualan roti produk dari kakaknya.
Sifat suamiku yang temperamental terlihat kembali ketika pernikahanku baru berumur beberapa bulan. Air susuku yang tidak keluar, menjadi pemicu kemarahannya. Katanya aku tidak becus merawat anak, sehingga air susu tidak keluar. Katanya aku bukan perempuan ideal, yang tidak bisa menyusui anaknya. Ia bahkan pernah mengancamku akan menggunting payudaraku ketika suatu saat ia marah. Entahlah, ia marah karena air susuku tidak keluar atau karena ia terpaksa harus membelikan susu formula untuk anakku.
Bayangkan, untuk kehidupan sehari-hari saja ia begitu pelit terkait keuangan. Dengan kehidupan keluarga baru yang memiliki anak bayi, pasang surut secara ekonomi aku alami. Jauh dari keluarga besar, namun dengan keluarga kakak iparku sebenarnya ada keuntungan sebab suamiku selalu terpicu untuk rajin bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup kami. Namun, ia selalu mempermasalahkan kondisiku yang hingga bayiku berumur hampir empat bulan, namun ASI tetap saja tidak keluar.
Kalian tahu, bagaimana kondisi psikisku saat itu. Perempuan, yang di masa kehamilan sudah mengalami hal-hal yang berat terkait perubahan hormon dan kebutuhan asupan gizi yang harus dipenuhi. Terus terang, mungkin di waktu sebelum menikah aku tidak begitu doyan makan sayur. Sehingga itu yang menyebabkan kondisi tubuhku yang tidak bisa mengeluarkan ASI. Dulu aku sempat berpikir jangan-jangan air susu tidak keluar posisi menyusuiku yang salah dan ternyata tidak, karena setelah memperbaiki posisi menyusui pun, air susuku juga tidak keluar.
Kalau tinggal di Jawa mungkin aku bisa terbantukan dengan minum rebusan daun katuk. Tapi di daerah di mana aku tinggal, jauh di perantauan, apakah aku bisa mendapatkannya? Aku miskin informasi terkait tempat-tempat mana, atau di wilayah mana penduduk atau warga setempat yang menanam daun katuk. Spesies tumbuhan yang sesungguhnya banyak terdapat di Asia Tenggara, sebab tumbuhan itu juga mudah hidup.
Hidup jauh dari orangtua juga menyebabkan aku tidak memiliki pengetahuan bagaimana merawat bayi seperti orang-orang dahulu merawat bayinya. Seperti bagaimana ibuku selalu bercerita bagaimana ia melahirkan dan merawat anak-anaknya yang berjumlah delapan, dengan segala keterbatasan. Ada ingatan samar-samar, yang membenarkan cerita ibu.
Anak-anak ibu lahir dengan mudah, dan mungkin bisa dikatakan gampang, semuanya minum ASI, termasuk aku. Dengan keadaan ekonomi terbatas, ibu bisa memenuhi kecukupan makanan yang dia asup dan tentu selalu berupaya agar ASI-nya keluar dengan lancar.
Tapi, bagaimana dengan aku di sini, yang jauh dari Ibu, dan kakak-kakakku, yang semestinya bisa aku jadikan teman curhat tatkala aku kesulitan menyusui. Tapi aku hanya hidup sendiri hanya dengan suami. Rasanya hampa hidup jauh dari orangtua, saudara, dan keluarga. Apalagi aku tidak mengenal dengan dekat para tetanggaku kontrakan. Lagian, aku juga tidak suka ‘nonggo’ atau main untuk mengobrol hal-hal yang tidak penting yang ujung-ujungnya adalah membicarakan keburukan tetangga alias menggibah.