Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #4

Dipulangkan dengan Membawa Anak Semata Wayang

Sesampai dari tanah perantauan karena dipaksa pulang oleh Rio, suamiku, tanpa diantar olehnya, aku langsung menuju rumah Ayah dan Ibu. Aku sudah membayangkan jika rumah kami nanti akan semakin berjejal. Sebelum aku menikah pun keadaan sudah demikian, apalagi aku sudah menikah dan sekarang sudah menggendong bayi, buah hati kami yang masih berumur empat bulan. Rengekan dan tangisan anakku kemudian menggugah perasaan dan motivasi agar aku segera bangkit dan berani menghadapi hidup. 

 Dalam hati aku bersyukur bahwa beruntung Ayah dan Ibu memiliki rumah untuk sekadar kami berteduh. Andai tidak ada rumah, mau kemana aku dan bayiku akan mencari perlindungan? Sementara uang yang aku bawa berupa tabungan yang aku simpan berbulan-bulan selama hidup di perantauan pun juga tidak banyak. Namun meski tidak membawa uang banyak. Aku masih berharap akan diterima dengan baik oleh Ayah, Ibu dan saudaraku yang lain.

 Setelah pesawat mendarat, aku segera memanggil taksi menuju rumah ayah dan ibu. Benar saja, mereka tampak kaget luar biasa, sebab aku pulang tanpa pemberitahuan. Mereka tidak menyangka aku pulang secepat ini dengan bayi yang masih berusia empat bulan. Menurut mereka, aku punya persoalan rumah tangga yang serius sehingga aku harus pulang mendadak, dan tidak berkabar. Sebab menurut mereka lagi, jika aku berkabar pun, meminta persetujuan, mereka, orangtuaku juga tidak memiliki pilihan lain selain tetap menerimaku sebagai anak kandung mereka. 

 Kedua orangtuaku dan saudara-saudara kandungku, semuanya, mereka tampak berbahagia melihat bayi mungilku. Terlihat dari semua wajah ceria yang mereka tampakkan dengan segenap kejujuran. Mereka memandangku dengan segenap belas kasih, tentu dengan berjuta pertanyaan yang ada di kepala, mengapa tiba-tiba aku muncul di depan pintu dengan membawa beberapa tas berisi semua pakaianku dan bayiku. Tetapi momentum itu kemudian berjalan seapa-adanya. Mereka cukup bijak untuk menahan lontaran berjuta pertanyaan dan memilih diam, serta lebih menyukai menimang-nimang bayiku. Sebagai pendatang baru, orok berumur empat bulan itu lebih banyak mendapat perhatian. Mereka menyambut kami dengan teriakan kebahagiaan, lalu merebut bayiku dari gendonganku. 

 Aku bisa membayangkan, bahwa meski anakku bukan cucu pertama ayah dan ibuku, namun pasti mereka merasakan kebahagiaan yang sama seperti mereka mendapatkan cucu dari anak-anak yang lain yakni kakak-kakakku. Kalian pasti membayangkan betapa berbinarnya mata ibuku tatkala ia menyapa dan mengaja berbicara bayiku, juga senyum dan tertawa ikhlas ayahku ketika ia berbangga karena cucunya sekarang bertambah.

 Kebahagaiaan sebagai  orangtua mana lagi yang bisa mereka perlihatkan, setelah bertemu dengan anak perempuan dan cucu perempuan yang keduanya sehat dan tidak kurang suatu apa. Meski pulang tanpa diantar suami. Tetapi dengan kerendahan hati, kedua orangtuaku tidak sampai hati untuk menanyakan mengapa kami pulang hanya berdua. Mungkin ada sebersit tanya, tapi hanya sampai di tenggorokan saja. Atau pertanyaan itu mengendap dalam pikiran.

 Merasa cukup dipahami dengan tidak melontarkan pertanyaan yang tentunya nanti akan sangat menganggu, itu sudah suatu keberkahan. Kalian tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang merasa ‘terhina’ lantas akan merasa lebih terpojok lagi ketika dihujani pertanyaan-pertanyaan “mengapa kamu diperlakukan seperti itu?”, “Kok bisa kamu diperlakukan seperti itu, pasti kamu yang salah ya?” atau pertanyaan semacam ini, “makanya jadi istri itu yang bener supaya kamu tidak diperlakukan oleh suamimu seperti itu.

 Memang benar ada istilah kasih sayang orangtua itu ibarat samudera yang tiada bertepi. Itu sudah terbukti dengan penerimaan orangtuaku kepada kami berdua. Meski di dalam hati, keinginan untuk hidup mandiri selalu meronta-ronta di dalam hati. Keinginan berupa cita-cita bahwa sepulang aku dari tanah perantauan aku harus bekerja keras, akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Dalam hatiku, sudah ada jeritan. “Bagaimana kamu sebagai Ibu akan memberikan susu bagi anakmu?!” Siapa yang akan menyediakan susu untuk anakku nanti?" Maka aku secepatnya harus bekerja.

Lihat selengkapnya