Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #5

Sepotong Hati Ibu yang Hancur

Persoalan lainnya adalah tiba-tiba kami harus menanggung utang dua puluh juta. Aku tidak tahu, dari mana saja utang itu, tahu-tahu aku mendapat kabar jika utangnya sebanyak itu. Sungguh, mengirim uang saja tatkala aku masih tinggal di daerah asal, ia tidak pernah. Apalagi saat ini mestinya uang yang kami punya kami kelola. Rupanya utang itu sepertinya terus berjalan bahkan berbunga setiap bulan. Terkutuklah para tukang riba, yang mempermainkan orang-orang miskin seperti kami. Terhinalah para rentenir yang menjerat dengan uang agar kami berutang. Seumur hidupku, akan aku sumpahi mereka supaya masuk neraka. Mereka telah bertindak menyesap darah kami laiknya para penguasa juga menyesap kekayaan yang ada di bumi, lewat kroni-kroni merusak alam dan menjualnya ke luar negeri.

 Maka benarlah cerita yang pernah disampaikan oleh ibuku tentang seorang rentenir pasar. Namanya Sami, perempuan yang menjerat para pedagang kecil di pasar. Tahu bahwa para pedangang kecil ini selalu butuh modal, maka si Sami tak segan mendatangi mereka, menawarkan pinjaman uang dengan bunga yang sangat tinggi, dua puluh persen sebulan. Meski angka ini tak masuk akal, tetapi mereka, para pedagang yang minim modal ini tetap mengambilnya. Jika utang akan diangusr setiap hari, maka bunganya akan menyesuaikan tentu tidak dua puluh persen sebulan tetapi ya masih tergolong tinggi.

 Jadi si Sami ini, di masa tuanya mengalami kesakitan fisik yang kronis, yang tidak terobati.Konon beberapa dokter sudah dia datangi dan mintai pertolongan tetapi tak ada satu pun obat yang bisa menghentikan sakitnya. Sudah belasan kali hitungan ia dirawat inap ke rumah sakit. Namun pada akhirnya nyawanya tak tertolong. Beberapa pedagang mengaitkan sakit si Sami dengan pekerjaan yang selama ini dilakoninya, menjadi tukang rente.

Belum lagi cerita tentang Basuki, seorang tetanggaku yang konon adalah seorang koruptor. Seorang perempuan, yang merupakan istri ketiganya tinggal di kampung kami. Rumahnya mentereng, paling keren, dibanding penduduk kampung lainnya. Di waktu aku yang kala itu masih remaja, bila ingin berenang harus pergi ke luar kota yakni di kabupaten tetangga untuk mandi di pemandian alam, rumah Basuki telah dilengkapi dengan kolam renang.

Suatu hari yang masih pagi, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Basuki dan istrinya digiring polisi karena dugaan kasus penyelewengan dana di kantornya. Lantas, lewat televisi, kudengar beritanya jika ia tersangkut kasus korupsi. Cerita tentang Basuki dan istrinya demikian meninggalkan bekas dalam pikiran dan menimbulkan tekad besar, bahwa di kehidupanku mendatang, aku harus berhati-hati untuk tidak tergelincir. Aku ingin hidup yang lurus-lurus saja. Biar sering dikatai sebagai orang miskin tetapi kalian para pengolok-olok, yang kalian lihat adalah kehidupanku saat ini. Kehidupanku yang sekarang bersama orangtua. Kalian tidak tahu bagaimana masa depanku nanti, masa depan anakku, sebab di dalam hati yang paling dalam, aku tidak ingin sama sekali mewariskan kepadanya sebuah kemiskinan.

 Kembali tentang Rio, perilakunya yang suka main kekerasan. Waktu itu terjadi di rumah kontrakan. Waktu dia merusak barang-barang elektronik rumah, anakku berusia sekira dua atau tiga tahun. Ia mengancamku kalau aku tidak menyusulnya, maka ia tidak akan memberi uang. Ternyata perkataannya benar, ia tidak mau mengirim uang bahkan untuk membeli susu anakku. Lalu aku kembali bekerja kepada majikan lamaku, di sebuah warung makan. Aku beruntung memiliki majikan seperti ia. Aku berkali-kali pamit keluar kerja. Aku sudah bertahun-tahun bekerja di sana. Sebelumnya aku pernah bekerja di sebuah toko plastik. 

 Aku tinggal di kontrakan baru di daerah utara rumah orangtuaku sampai anakku berumur tiga tahun. Ketika anakku berumur tiga setengah tahun aku berpindah lagi kontrakan, agak ke utara dari kontrakan lama. Jaraknya tidak lebih dari satu kilometer.Waktu itu aku dan anakku yang banyak tinggal di rumah ini, dan aku pula yang membayar dengan uang penghasilan kerjaku sehari-hari. Rumah itu berbiaya kontrak tiga ratus ribu perbulan. Jika pagi waktu berangkat bekerja, anak aku titipkan ke kakakku. Jam 15.30, aku sudah pulang dari bekerja. 

 Terkadang aku membawa anakku bekerja karena dia memang lagi tidak bisa kutinggal, atau karena tidak ada yang kutitipi. Lagian aku juga ingin mengurangi konflik yang ada di keluarga besarku. Ketika anak kutitipkan rupanya sering aku dengar laporan dari kakakku kalau anakku kadang bertengkar dengan anaknya.

 Rio saat itu sudah tidak pulang ke rumah selama sembilan bulan. Aku akui kami jarang melakukan komunikasi sebab kalau berkomunikasi malahan berujung pertengkaran. Ia tidak membelikan susu bagi anakku, dan tidak mengirim uang. Beruntung ada ibu mertua yang membantu. Gajiku hanya cukup untuk membayar kos dan membeli susu. Kalau makan, selalu setiap pulang kerja aku pun juga diberi makan oleh majikan, di samping makan siang yang selalu disajikan.

 Waktu itu ketika anakku berumur empat setengah tahun. Datanglah ia yang menjemput kami setelah sembilan hingga sepuluh bulan ia tidak pulang. Jika dihitung dari kepulanganku dari tanah perantuan, empat tahun lebih berselang. Ia datang menjemputku untuk diajaknya kembali ke sana. Kemudian aku putuskan aku keluar dari kontrakan dan berencana pindah ikut di rumah mertua. Ia akan menjemputku berangkat dari rumah mertua.

 Sebenarnya, aku ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin bertemu dengan dia apalagi aku hendak diajak kembali ke tanah perantauan. Kalian tahu bagaimana perasaanku saat itu? Sangat hancur dan hatiku patah. Anak yang kuasuh sejak dalam kandungan hingga aku lahirkan dengan susah payah. Aku rawat anakku dari bayi merah, hingga dia belajar merangkak, berjalan, kemudian berlari. Dari yang hanya bisa menangis karena lapar, menangis karena sakit, hingga bisa mengucap sepatah kata dua patah kata. Memanggil nama ibu dan bapaknya dengan hanya sepatah kata dan dua patah kata. Dari yang mengingat wajah bapaknya yang hanya pulang sekali dalam beberapa bulan, bahkan hitungan tahun. Aku ragu apakah ia benar-benar masih ingat wajah bapaknya, atau berusaha melupakan, karena memang jarang berkomunikasi lewat telepon. 

 Jangan berpikir, bahwa suamiku memiliki rasa kasih sayang yang besar hingga mengorbankan dirinya demi menemui anaknya seperti yang diperankan Robin William, pengangguran humoris, ceria dan suka membanyol bersama anak-anak di rumah. Daniel Hillar dalam Mrs. Doubtfire merasakan kandasnya pernikahan bersama istri dan ketiga anaknya mengikuti istri karena mendapat hak perwalian, Hillard menyamar sebagai perempuan berusia 60 tahun dan melamar menjadi pembantu rumah tangga di rumah mantan istrinya. Misinya adalah agar ia tetap dekat dengan anak-anaknya. Film ini menekankan pesan bahwa orangtua tetap menjadi orangtua bagi anak-anaknya kendati perceraian terjadi atas keduanya. Film yang tenar di tahun 1990-an itu seakan menyiratkan demikian besar rasa kasih sayang seorang ayah terhadap anak-anaknya.

Lihat selengkapnya