Kekerasan, apa pun namanya bila dilakukan kepada perempuan, lukanya akan selamanya bersemayam di dalam dadanya. Sampai mati.
Sore itu, dipicu oleh rasa cemburu sebelumnya. Beberapa peristiwa seakan menjadi penyokong yang kemudian berubah menyulut kemarahan yang lebih besar lagi. Di hari itu, aku menelepon suami kakak iparku, walau sebenarnya tujuanku adalah menelpon kakak iparku perempuan. Namun telepon itu yang menerima suaminya, ya sudah. Ada istri didekatnya. Jadi menurutku aman. Telepon pun sebenarnya untuk menanyakan hal penting dan bukan rahasia.
Namun, lagi-lagi karena ego yang besar, ditambah dengan sifat aslinya yang pencemburu, Rio langsung naik darah dan memarahiku usai aku bertelepon. Ia memarahiku dengan kata-kata kasar. Tapi aku tidak menggubrisnya sebab memang tidak ada sesuatu hal yang dikhawatirkan. Karena memang aku tidak memiliki hubungan yang perlu dicurigai.
Namun hari itu, api emosi rupanya terus mengendap-endap lalu menjalar ke dalam pembuluh darah laki-laki temperamental tersebut. Dengan kemarahannya tersebut sebenarnya dia telah meninggalkan alarm perdamaian diri yang semestinya menghuni hati setiap orang. Rio telah mengibarkan genderang perang dan secara telak telah buta mata, buta hati dengan menuduh bahwa di antara aku dan kakak iparnya ada sebuah hubungan khusus.
Rio yang tengah dirasuki setan-setan di dalam dadanya, tengah menyimpan bara api cemburu. Aku jadi teringat kejadian beberapa tahun sebelumnya, ketika dihinggapi rasa cemburu, ia dengan sangat tidak berperasaan, tega sekali mengangkut armada gerobak sebagai saranaku untuk berjualan. Perlakuannya kepadaku dahulu meninggalkan luka yang masih menganga. Belum lagi luka itu sembuh, ia tengah menyayat luka lagi yang baru dengan satu kata alasan : cemburu.
Kukira itu penyebab pertama di hari itu ia meluapkan emosi dikarenakan kejadian aku bertelepon. Namun siapa sangka bahwa ada penyebab lainnya yakni pemicu nomor dua : masalah anak.
Ayah dan Ibu rupanya juga memiliki rasa rindu kepada cucu, umumnya yang dirasakan oleh para nenek dan kakek. Ini wajar kukira. Karena Ayah dan Ibu juga turut merawat anakku sejak bayi. Bahkan aku bertahun-tahun menitipkan anak itu kepada mereka karena kutinggal kerja. Jadi mereka yang bertanggung jawab secara kehadiran mereka juga sangat membantuku. Jadi aku tidak menyangkal jika ketika rasa kangen itu muncul mereka ingin bertemu dengan anakku.
Maka yang terjadi kemudian, dua kakakku menyambangi rumah mertua di kota lain yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun kedatangan kedua kakakku tidak membuat enak hati mertuaku. Ungkapan rasa kangen orangtuaku yang diwakili oleh kedua kakakku. Ibu mertuaku rupanya menolak anakku dibawa oleh mereka. Tidak ada titik temu yang kemudian melecutkan emosi pada kakak iparku. Tak tahan untuk menyimpan emosi itu, kakak iparku memarahi ibu mertuaku.
Terjadilah perselisihan di antara keduanya. Sebenarnya ini kejadian memalukan yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang saling memperebutkan anak. Namun aku tidak bisa bertindak apa-apa. Kami tinggal sangat jauh, terpisahkan tidak hanya kota, gunung, lembah, sungai. Tapi kami tinggal dipisahkan oleh pulau-pulau, lautan, bahkan samudera. Aku tidak serta merta bisa pulang dan melerai pertengkaran mereka. Selain itu, kukira tidak bijak pula jika aku turut campur urusan mereka meski yang diperebutkan adalah anakku.