Sayup-sayup kudengar suara radio yang memperdengarkan lagu Andra and The Backbone. Syair itu begitu menyentuh. Ya, mungkin aku seorang pesakitan, tahanan di rumah sendiri dari seorang suami yang kejam, yang butuh untuk dihibur walau dengan syair lagu.
Selain masalah cemburu buta yang tanpa alasan, juga persoalan yang tengah menimpa anakku yang berujung pertengkaran kakakku dan keluarga mertua, ternyata ada persoalan laten yang diam-diam menyelinap yakni kesulitan ekonomi yang kami alami. Usaha yang sedang kami rintis, ternyata tidak mampu menghasilkan keuntungan yang kami harapkan. Berjibunnya utang Rio juga menjadi pemicu salah satu penyebab pertengkaran-pertengkaran kecil lainnya.
Yaa…seperti yang pernah aku ceritakan, Rio menumpuk terus-terusan utang yang kemudian menggunung dan membuatku sedih bercampur marah. Dari mana kami harus melunasi utang-utang itu? Seperti tidak ada jalan keluar sedikit pun agar kami bisa segera terentas.
Sore itu, ketika Rio tiba-tiba mengguyurkan minyak tanah ke tubuhku, lalu menyulutnya dengan korek api yang ada di sakunya, tanpa berpikir panjang aku berteriak-teriak minta tolong lalu berlari ke arah kamar mandi, Secara refleks aku melepas kaos yang menempel di tubuhku dan aku langsung menyiram air seember untuk memadamkan api yang masih menyala di tubuhku, namun kemudian tubuhku terasa panas dan nyerinya sampai ke ulu hati. Sakit sekali.
Teriakan permintaan tolong yang kulontarkan tidak berhasil membawa tetangga ke rumah kos-ku. Pintu kos masih dalam keadaan terkunci. Aku teriak pun dengan sekencang-kencangnya, aku yakin tidak ada tetangga yang datang ke rumah kos. Memang suaraku yang tidak terdengar oleh mereka, atau mereka takut menyambangi kamar kos-ku. Mereka pikir yang terjadi di antara kami mungkin pertengkaran rumah tangga biasa. Tempat kos yang kutempati ada sekitar empat kamar lainnya yang terisi dan satu orang berasal dari perantauan juga. Artinya ia seharusnya paham ketika aku teriak minta tolong.
Sampai kemudian….ketika ancaman datang dari Rio, jika aku tetap berteriak minta tolong masih saja kulakukan maka ia akan membuang aku ke hutan atau ke jurang. Tapi bagaimana pun rasa sakit yang kusandang mengalahkan logika apa pun. Sehingga ketika suamiku mengancam seperti itu pun aku akhirnya tertunduk dan patuh padanya.
Satu penghuni yang mungkin paham bahasaku kukira kemudian tahunya aku hanya menangis. Karena aku sudah tidak boleh lagi meminta tolong. Setelah aku meminta ampun dan mengiba kepadanya agar segera ditolongnya, maka dia berkata lagi. “jangan bilang siapa-siapa. Kalau kamu bilang, kubuang kamu di hutan atau jurang. Kamu semakin jauh dengan anakmu. Bisa-bisa kamu sudah tidak bisa bertemu dengannya lagi!”
Lagi-lagi, jika ancaman itu tentang anakku. Aku kembali pasrah, lalu mengiyakan apa permintaannya. Hatiku semakin meleleh. Tak hanya hatiku, namun juga luka bakar yang aku sandang. Seharusnya dengan cepat diberi pertolongan. Dengan tunduknya aku di hadapannya, Rio kemudian membuka kunci pintu kamar kos. Aku hanya bisa bersembunyi dari kesakitan yang aku alami dengan melempar senyum pada tetangga yang berpapasan dengan kami. Dalam hati, aku sudah siap kalau nanti ditanya oleh mereka, maka jawaban yang hendak kusampaikan adalah aku terkena kompor meleduk.
Namun tidak demikian kejadiannya. Sewaktu tetangga bertanya kepada Rio ada apa denganku, ia menjawab bahwa aku melakukan percobaan bunuh diri, dengan membakar diri menggunakan bensin. Pun ketika menelopon keluarga di tanah kelahiran, ia mengatakan hal yang sama, bahwa aku melakukan percobaan bunuh diri. Ini siasat yang paling jahat kukira. Suamiku mangkir dari tanggung jawab sebagai pelaku kejahatan pada istrinya. Sungguh otaknya nan licik penuh muslihat. Ia sedang bermain drama dan aku harus mengimbanginya. Ia sutradara sekaligus aktor atas segala apa yang barusan ia lakukan dan aku menjadi salah satu pemainnya. Pemain di bawah ancaman.
Keluargaku kemudian meneleponku. Rio yang menjawabnya dengan setumpuk skenario yang sudah disusunnya. Dengan segala tipu-muslihat itu, ia bercerita tentang ‘kecelakaan’ yang kualami. Ia masih mengintimidasi bahwa ketika ditanya siapa pun aku harus mengatakan bahwa kejadian celaka yang kualami adalah terkena kompor meleduk dan jika ada keluarga yang tanya maka dijawab upaya bunuh diri.
Pertama kali aku dibawanya ke sebuah rumah sakit swasta tapi ditolak. Kemudian dari pihak rumah sakit swasta tersebut mengarahkan agar aku dirawat di RSUD yang memiliki alat-alat yang memadai. Pada saat dirawat di RSUD, tetangga dan orang-orang yang kami kenal menengokku di rumah sakit. Mereka memprihatinkanku.
Ketika orang-orang menengok, Rio selalu menjawab bahwa peristiwa tragis yang kualami murni kecelakaan kompor meleduk. Ingin rasanya aku menjerit dan menyela omongan itu bahwa alasan suamiku tidak benar alias bohong. Namun keinginanku hanya berhenti di tenggorokan saja sebab untuk bersuara, dengan liciknya, ia selalu memiliki insiatif agar aku tidak bersuara. Mulutku benar-benar dibungkam. Mulutku serasa ditutup paksa dengan lakban.
Dan ketika setiap kali Rio bercerita kronologi palsu, setiap kali pula aku seperti melihat monster yang berdiri angkuh di hadapanku. Setiap kali pula aku ingin berdiri lalu menonjok wajah sombongnya itu. Namun aku akhirnya pasrah. Siapa lagi yang bisa kau mintai tolong. Di tanah perantauan ini, kau tiada memiliki keluarga dan kerabat, batinku. Dua kakak dari Rio, aku kok merasa yakin bahwa mereka ada di pihak dia. Mereka pasti percaya atas omongannya bahwa aku melakukan percobaan bunuh diri.
Suatu saat, ada seorang tetangga bangsal yang sangat memprihatinkanku. Rupanya ia ingin menolongku dengan menggalang dana atas biaya pengobatan yang kujalani. Ia memotretku lalu foto itu ia beri narasi, bahwa aku, seorang perempuan warga perantauan, mengalami kecelakaan kompor meleduk yang mengakibatkan pengobatan yang akan menghabiskan banyak biaya. Upaya penggalangan dana lewat media sosial dilakukan oleh tokoh masyarakat, seorang anggota DPRD dari sebuah fraksi, kemudian membuahkan hasil, terkumpul uang sekitar 180 juta.
Dengan uang hasil donasi sebanyak itu, kemudian aku dirujuk ke sebuah rumah sakit di ibu kota. Dan pengobatan masih menggunakan JKN-KIS yang dibayar oleh pemerintah alias gratis. Kami berdua terbang dari kota perantauan menuju Jakarta. Dari rumah sakit milik pemerintah tersebut, aku dirawat selama seminggu sebelum kemudian dirujuk lagi ke sebuah rumah sakit, masih berlokasi di ibu kota. Di sana aku dirawat selama dua minggu. Di sana aku menjalani pengobatan, yang kemudian dirujuk ke rumah sakit pusat dan rumah sakit itu aku kembali harus dirawat selama sebulan. Jadi total sekira selama delapan minggu aku dirawat di tiga rumah sakit di ibu kota.
Selama proses pengobatan itu, Rio masih menungguiku. Ia juga masih membawa uang donasi sumbangan dari orang-orang yang peduli kepada kami. Dan aku benar-benar masih dibuat untuk tidak berdaya di hadapannya.