Aku, Rose Masayu, biasa dipanggil Rose, seorang anak perempuan yang sedang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Aku tinggal di kota S, tempat di mana aku lahir dan dibesarkan. Setiap pagi aku pergi ke sekolah yang letaknya tak jauh dari rumah. Kehidupan berjalan biasa saja, hingga suatu hari, kota ini berubah menjadi tempat yang menakutkan. Meski suara-suara bahwa kota tidak sedang baik-baik saja hanya aku dengar lewat siaran radio dan pembicaraan antara Ayah dan ibuku. Tetapi aku terus-menerus menguping mereka.
Pagi itu, aku berangkat ke sekolah seperti biasa. Aku menggenggam erat tangan ibuku, sementara kakiku melangkah ringan di jalan yang sudah kukenal. Tapi ada yang berbeda. Orang-orang berbisik cemas, dan di kejauhan, samar-samar terdengar obrolan bercampur teriakan. “Ada apa, Bu?” tanyaku, mencoba memahami kerisauan yang tergambar di wajah ibuku. Hari itu Ibu yang bekerja sebagai pedagang pulang lebih pagi. Tidak seperti biasanya, menunggu semua dagangan habis baru kembali ke rumah. Ibu yang sejak pukul tiga pagi berangkat ke pasar, pagi itu pukul tujuh pagi sudah ada di rumah lagi.
"Kerusuhan, Rose. Kita harus hati-hati,” jawab Ibu dengan nada yang berusaha tegar. Tetapi aku sudah terlanjur memakai seragam sekolah sehingga mau tidak mau, aku harus berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, suasana terasa tegang. Guru-guru berkumpul dan saling berbicara dengan suara pelan, sementara beberapa murid menangis. Ada yang bilang ada ada gerombolan orang yang merangsek dan melempari batu pada rumah-rumah gedung yang letaknya di pinggir jalan besar. Di ujung jalan, ada yang bilang banyak toko-toko dipecahkan kacanya. Ketakutan itu merayap, seperti udara panas yang melingkupi tubuhku. Itu seperti perasaan ketakutan yang asing. Ketakutan yang tidak seperti biasanya, misalnya sewaktu aku takut pulang dari bermain hujan-hujanan. Atau ketika takut karena aku menghabiskan uang yang seharusnya aku tabung tetapi malah aku bikin jajan. Bukan seperti itu.
Aku mencoba mencari sahabatku, Yulia, yang selalu duduk di sebelahku. Namun, bangkunya kosong. Yulia tidak masuk sekolah hari itu. Aku tahu, ayahnya keturunan Tionghoa, ibunya orang Jawa. Tapi rumahnya jauh dari jalan besar sehingga dimungkinkan rumahnya tetap aman. Tapi mengapa Yulia tidak masuk sekolah? Aku teringat saat Yulia dan aku tertawa bersama, membaca buku dan bermain bersama di rumahnya. Bagiku, dia adalah sahabat, nyatanya aku tidak pernah berpikir hal lain, tentang fisik, karena kami nyaris sama, sama-sama memiliki kulit sawo matang, hanya dia lebih cerah sedikit. Ayahnya saja yang kentara berkulit kuning bersih.
Suasana semakin mencekam. Sekolah diputuskan untuk meliburkan kami lebih awal, dan aku bergegas pulang. Di jalan, aku melihat banyak orang bercerita bahwa di pusat kota telah terjadi kerusuhan. Kerusuhan itu merembet ke kecamatan di mana aku tinggal. Beberapa rumah menjadi korban pengrusakan. Ada satu rumah yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Meski dikatakan tidak begitu parah, tetapi aku melihat sendiri bagaimana sebuah rumah besar milik juragan batik, lampu-lampu tamannya kacanya pecah berserakan. Ada empat lampu dan semuanya ada di area luar rumah, tepatnya di halaman yang tertutup pagar besi. Senyataanya pagar besi itu tidak bisa melindungi dari amukan massa perusuh. Beruntungnya kaca rumah besar itu aman dan masih utuh. Rumah itu terletak di ujung gang di mana aku tinggal. Melihat hal itu, hatiku tercekat. Perasaanku jadi takut.
Hari itu seperti hari-hari biasa, tetapi udara terasa lebih panas dan berat, seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi.
Aku baru saja pulang dari sekolah, berjalan cepat melewati gang sempit menuju rumahku. Suara derap langkah kaki terdengar dari kejauhan, membuatku merasa tidak nyaman. Beberapa perempuan yang biasa duduk di depan rumah mereka, kini tampak tergesa-gesa masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Aku berhenti sejenak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Saat aku hampir sampai di ujung gang, kudengar suara keras, seperti kayu yang dipukul keras ke aspal. Kemudian suara teriakan menggema, semakin keras dan semakin dekat. Aku melihat sekelompok orang bergerak dengan cepat, beberapa membawa balok kayu, beberapa lagi memegang botol. Mereka tampak marah, berteriak-teriak dengan kata-kata yang tidak kumengerti. Aku tahu itu kerusuhan, yang selama ini hanya kudengar dari cerita orang dewasa dan berita di radio.
Aku merasa jantungku berdetak kencang. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju rumahku, hanya beberapa meter lagi. Aku bisa melihat Ibu berdiri di depan pintu, wajahnya pucat. "Rose! Cepat masuk!" serunya sambil mengulurkan tangan. Aku segera masuk, dan ibu menutup pintu dengan cepat, menguncinya dengan rapat.
Di dalam rumah, Ayah sedang memasang kayu di jendela, memastikan tidak ada yang bisa masuk. Aku mendekati jendela kecil dan mengintip keluar. Aku sudah tidak melihat sekelompok orang yang tadi kulihat. Setelah mereka puas melempari rumah gedung dan memecahkan lampu-lampu taman.
“Tuhan, lindungi kami,” bisik Ibu sambil memegang tanganku erat. Aku merasakan keringat dingin di telapak tangannya. Aku menatap wajah ibu, ada ketakutan yang sangat di sana.
Ayah datang dan menarik Ibu menjauh dari jendela. "Jangan melihat, Rose. Itu bukan untuk anak-anak," katanya dengan suara rendah namun tegas. Tapi aku sudah melihatnya, dan aku tahu, apa pun yang terjadi di luar sana bukanlah hal yang seharusnya kulihat. Kegaduhan yang kemudian menyisakan suara-suara para tetangga.
Mereka berbondong-bondong melihat rumah gedung milik juragan batik. Suara-suara para tetangga yang bising masih tetap menggema dan terdengar dari rumah.
Suasana masih kacau. Sesekali terdengar teriakan. Beruntunglah rumah kami akhirnya aman. Meski segala daya dan upaya tetap kami lakukan. Mengapa? Karena ibuku memiliki kerja sama dengan pedagang berdarah Tionghoa. Tentunya Ayah dan Ibu merasakan ketakutan jika mereka para perusuh itu akan merusak rumah kami.
Ayah menempelkan tubuhnya ke pintu, menahan agar tidak ada yang bisa mendobrak masuk. Tidak ada gerombolan yang berani masuk gang rumah. Meski suara-suara para tetangga yang mencoba menenangkan kemudian malah menjadi menakutkan.