Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #11

Pelajaran dari Kerusuhan

Setelah hari yang penuh dengan ketakutan itu, sesuatu berubah dalam diriku. Kota S yang dulu terasa ramah dan hangat kini tampak penuh dengan bayangan kelam. Aku sering berpikir tentang hari-hari ketika semuanya baik-baik saja, ketika tidak ada kebencian yang menguasai jalanan, ketika aku dan teman-temanku bisa bermain bebas tanpa rasa takut. Di antara semua ingatan yang muncul, bayangan Yulia, sahabatku, selalu hadir dengan jelas.

 Yulia adalah teman dekatku di sekolah. Dia keturunan Tionghoa, dan selama ini, aku tidak pernah memikirkan apa artinya itu. Bagiku, dia adalah sahabat yang selalu ada untukku, berbagi permen, dan tertawa bersama di waktu istirahat. Tapi setelah kerusuhan itu, aku sadar, ada orang-orang yang melihatnya bukan sebagai Yulia yang aku kenal, tetapi sebagai “yang lain.” Dan itu membuatku marah sekaligus sedih. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu baik dan ramah bisa dianggap berbeda hanya karena etnisnya?

 Aku ingat suatu hari di sekolah, beberapa minggu setelah kerusuhan. Sekolah sudah mulai tenang, tapi aku tahu banyak teman-temanku yang masih takut, terutama mereka yang berasal dari keluarga Tionghoa seperti Yulia. Tapi hari itu, ketika aku masuk ke kelas, aku melihat Yulia duduk di bangkunya, menunduk, memegang erat pensilnya. Dia tampak lebih kurus, dan wajahnya pucat.

 Aku ragu sejenak, tapi kemudian aku berjalan ke arahnya. “Yulia?” panggilku pelan. Dia mengangkat kepalanya, dan seketika, air mata mengalir di pipinya. Tanpa berpikir panjang, aku memeluknya. "Aku kangen kamu," kataku sambil terisak. Yulia tersenyum kecil, "Aku juga, Rose."

 Saat itu, aku merasa sesuatu yang berat terangkat dari dadaku. Semua ketakutan dan kecemasan selama beberapa minggu terakhir seakan luruh. Kami duduk bersama, dan Yulia mulai bercerita tentang ketakutan keluarganya, bagaimana mereka bersembunyi di dalam rumah, dan bagaimana mereka harus pergi sementara untuk mencari keselamatan. Aku mendengarkan dengan seksama, merasakan sakitnya melalui setiap kata yang dia ucapkan.

Dari hari itu, aku bertekad untuk tidak membiarkan rasa takut dan kebencian menguasai pikiranku. Aku ingin menjadi teman yang baik bagi Yulia, lebih baik dari sebelumnya. Aku ingin memastikan bahwa dia tahu bahwa ada orang yang peduli padanya, yang tidak melihatnya sebagai “yang lain,” tapi sebagai sahabat yang sejati.

Lihat selengkapnya