Dua tahun setelah kerusuhan di Kota S, aku berharap semua sudah berakhir, bahwa ketakutan itu tinggal kenangan yang akan memudar seiring berjalannya waktu. Tapi tahun 1982 datang membawa kekhawatiran baru. Ada bisik-bisik lagi di kalangan orang dewasa, kali ini tentang "penembakan misterius" yang terjadi di berbagai tempat. Mereka menyebutnya "petrus," sebuah kata yang sering kudengar di televisi atau percakapan orang dewasa. Kata itu menimbulkan perasaan asing dan tidak nyaman di hatiku.
Mengapa ada penembakan? Mengapa juga itu dikatakan misterius? Nah, ada satu lagi kata yang benar-benar sangat asing bagiku sebenarnya yakni "gali" sebuah akronim dari gabungan anak-anak liar. Apakah “gali” adalah semacam komunitas anak-anak nakal? Apakah mereka penjahat? Banyak pertanyaan yang menggantung di kepala dan tidak mendapat jawaban. Karena aku pikir kalau “gali” itu gabungan anak-anak nakal semestinya mereka direhabilitasi. Bukan malah ditembaki. Atau jangan-jangan di zaman kekinian, komplotan mereka itu bisa disebut preman? Oh ya, benar, mungkin saja mereka itu yang mendapat julukan preman. Padahal di usiaku kelas enam SD, ayahku yang berdinas sebagai pegawai negeri sipil pernah menyebutkan jika kata "preman"itu adalah sebutan bagi polisi yang sedang berdinas tetapi sedang menyamar dan kala bekerja memakai baju non dinas. Ah, tetapi aku jadi bingung, entah mana yang benar.
Hari itu, aku pulang sekolah lebih cepat karena guru kami tampak khawatir dan memutuskan untuk membubarkan kelas. Jalanan terasa lengang, lebih sunyi dari biasanya, seolah-olah kota sedang menahan napas menunggu sesuatu. Aku berjalan cepat, berusaha menenangkan perasaanku yang gelisah, ketika tiba-tiba aku melihat kerumunan di ujung jalan. Rasa penasaran menarikku mendekat, meskipun hati kecilku berteriak untuk menjauh.
Di antara celah-celah orang yang berkerumun, aku melihat sesuatu yang membuat darahku berhenti mengalir. Di sana, di trotoar, terbujur tubuh seseorang. Seorang laki-laki, dengan pakaian kumal, terbaring tak bergerak. Rambutnya ikal seleher tapi tampak kumal dan basah. Di dadanya, ada noda merah besar yang kering, seperti bunga mawar yang aneh dan menakutkan. Matanya terbuka, tapi tidak ada kehidupan di sana; hanya tatapan kosong ke langit. Tubuh laki-laki itu penuh tatoo, dari kedua lengan sedikit di wajahnya dan di paha. Tattoo itu menampakkan wujudnya sebab laki-laki itu hanya mengenakan kaos singlet atau tak berlengan dan memakai celana pendek di atas lutut.
Aku terpaku di tempatku berdiri. Orang-orang berbisik-bisik, "Ini korban petrus," kata mereka, dengan nada suara yang campur aduk antara ketakutan dan rasa penasaran. Seorang ibu menutupi mata anaknya yang lebih kecil, menariknya pergi sambil berkata, "Jangan lihat, nanti kamu mimpi buruk." Aku mencoba berbalik, tapi kakiku terasa lemas. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sosok yang terbujur kaku di sana, dari mata yang menatap kosong, dan dari noda merah yang tampak begitu nyata, begitu mengerikan.
Aku akhirnya bisa berlari pulang, jantungku berdetak kencang, napasku tersengal-sengal. Begitu sampai di rumah, aku langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Aku merasa ingin muntah. Gambaran tubuh itu terus menghantuiku, memenuhi pikiranku. Aku berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali, bayangan laki-laki itu muncul, membuatku terlonjak ketakutan.
Di meja makan, Ayah berbicara serius dengan Ibu, suaranya pelan tapi terdengar jelas. "Penembakan misterius ini semakin banyak, dan tidak ada yang tahu kapan akan berhenti," kata ayah. Ibu tampak cemas, matanya melirik ke arahku sejenak, lalu kembali menunduk. Aku tahu mereka sedang membicarakan apa yang kulihat di jalan tadi, meskipun mereka berusaha menyembunyikannya dariku.
Malamnya, mimpi buruk datang lagi. Kali ini bukan tentang kobaran api atau teriakan marah, tetapi tentang mayat-mayat yang terbaring di jalanan, dengan noda merah besar di dada mereka. Dalam mimpiku, aku berjalan di antara tubuh-tubuh itu, mencoba mencari jalan keluar, tapi tidak pernah menemukannya. Aku merasa sesak, seolah-olah aku terjebak di tempat yang gelap dan menakutkan.
Aku terbangun dengan teriakan, membuat Ibu masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa. “Rose, ada apa?” tanyanya cemas. Aku tidak bisa menjawab, hanya bisa menangis dalam pelukannya. "Aku lihat, Bu," kataku sambil tersedu. "Aku lihat mayat yang ditembak." Ibu menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkanku meski aku bisa merasakan tubuhnya sendiri gemetar.
"Ini tidak adil," aku berbisik dalam hati. Mengapa aku harus melihat hal-hal seperti ini? Mengapa, sebagai seorang anak kecil, aku harus tahu bahwa kekerasan bisa begitu dekat, begitu nyata? Aku hanya ingin kembali ke saat ketika aku tidak perlu tahu tentang kematian, ketika yang kutakutkan hanyalah gelap atau suara petir di malam hari.
Selama berminggu-minggu setelah kejadian itu, aku tidak bisa berjalan di jalan yang sama lagi. Setiap kali aku melewati tempat itu, aku merasa ada mata yang mengawasi, bayangan tubuh yang terbujur kaku di pinggir jalan seolah-olah masih di sana. Setiap malam, aku menutup mataku dengan erat, berusaha mengusir bayangan itu, tapi selalu kembali, semakin jelas dan menakutkan.
Aku mulai takut untuk pergi keluar sendirian. Setiap kali aku mendengar suara langkah kaki di belakangku, jantungku berdetak kencang. Setiap kali ada yang mengetuk pintu di malam hari, aku melompat dari tempat tidur, ketakutan. Aku mulai bertanya-tanya apakah aku akan selalu merasa seperti ini, apakah bayangan mayat itu akan selalu menghantuiku, menempel di benakku tanpa bisa kuhapus.
Di usia yang masih muda, aku merasa dunia di sekitarku berubah menjadi tempat yang asing dan berbahaya. Aku tahu aku masih kecil, tapi aku belajar dengan cara yang sulit bahwa kehidupan tidak selalu adil, bahwa ada kekerasan yang tidak bisa kujelaskan atau kuhindari.