Tahun 1998, kota S kembali bergejolak. Aku, Rose, yang saat itu sudah bukan lagi anak kecil seperti dulu, kembali merasakan dentuman ketakutan yang mirip dengan apa yang pernah kualami di tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini, situasinya lebih besar, lebih luas, dan lebih mengguncang. Tragedi Mei 1998, sebuah babak lain dari sejarah kelam bangsa, dan aku berada di tengah-tengahnya lagi.
Ketika kerusuhan pecah, aku sudah dewasa, dan ingatan tentang penembakan misterius tahun 1982 masih samar-samar membayang di benakku. Tapi kali ini, suasana jauh lebih mencekam. Rumah-rumah dan toko-toko dibakar, teriakan-teriakan memenuhi udara, dan lagi-lagi, seperti di masa kecilku, rasa takut menjadi teman setiaku setiap malam.
Aku berjalan dengan langkah terburu-buru di tengah keramaian yang kacau. Di jalan-jalan, orang-orang berlarian mencari perlindungan. Toko-toko yang dulu ramai kini terkunci rapat, beberapa di antaranya habis terbakar oleh amarah yang entah datang dari mana. Saat aku berlari menuju rumah, aku melihat beberapa orang berdiri di depan ruko-ruko milik warga keturunan Tionghoa, dengan tatapan marah dan tangan-tangan yang membawa benda tumpul.
Peristiwa Mei 1998 menyapu kota ini seperti badai. Tidak hanya amarah yang memicu kerusuhan, tetapi juga dendam yang telah lama terpendam, terutama terhadap mereka yang dianggap “berbeda.” Warga keturunan Tionghoa, yang hidup berdampingan dengan kami selama ini, kini menjadi sasaran kebencian. Toko-toko mereka dijarah, rumah-rumah mereka dibakar, dan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa meninggalkan kota ini untuk keselamatan.
Wajah-wajah mereka yang kutemui di jalan dipenuhi kecemasan. Beberapa dari mereka adalah teman-temanku sejak kecil, yang dulunya bermain bersamaku tanpa pernah memikirkan perbedaan. Tapi kini, perbedaan itu menjadi dinding besar yang memisahkan kami.