Pada tahun 1998, ketika kerusuhan Mei mengguncang Kota S dan kota-kota besar lainnya, aku, Rose, sudah berkeluarga. Suamiku, Arya, bekerja sebagai reporter. Pekerjaan yang dia cintai, namun menjadi sumber kekhawatiranku setiap hari. Di tengah amukan massa dan kebakaran yang merajalela, suaranya yang tenang dan penuh semangat selalu menjadi penyeimbang kegelisahanku. Tapi kali ini berbeda. Setiap kali Arya pergi untuk meliput, hatiku dicekam oleh ketakutan yang tak tertahankan.
Hari itu, Arya pamit seperti biasa. Namun, tatapannya penuh dengan kewaspadaan. "Aku harus pergi ke pusat kota," katanya pelan, menyadari bahwa aku sudah tahu betapa berbahayanya situasi di luar sana.
"Kamu pasti akan baik-baik saja, kan?" tanyaku, meski tahu jawabannya tidak akan pernah bisa membuatku tenang.
Arya tersenyum lembut dan menepuk punggung tanganku. "Aku selalu berhati-hati, Rose. Jangan khawatir."
Tapi, bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Setiap kali dia meninggalkan rumah, ada rasa hampa di dadaku, seolah-olah napasku tertahan. Di luar, sirine meraung tanpa henti. Orang-orang berlarian ke sana ke mari, dan teriakan minta tolong terkadang terdengar dari kejauhan. Kerusuhan ini bukanlah hal kecil, ini adalah gejolak yang mencengkeram seluruh negeri, dan di tengah kekacauan ini, Arya selalu berada di garis depan.
Waktu berjalan lambat setiap kali Arya keluar meliput. Aku terus memantau berita, berharap melihat wajahnya di layar TV, atau mendengar suaranya di radio. Tapi tidak ada, hanya laporan demi laporan tentang kekerasan, kebakaran, dan kehancuran yang melanda kota. Aku mendekap anak kami yang masih kecil, sambil berharap Arya segera pulang dalam keadaan selamat.
Ketika malam tiba, rasa khawatir semakin menguasai diriku. Api terlihat menjulang di beberapa sudut kota, dan asap hitam membumbung tinggi. Arya belum juga kembali, dan kabar-kabar yang masuk lewat televisi dan radio hanya membuat cemas semakin bertambah. Mereka melaporkan penjarahan, pembakaran toko-toko milik warga keturunan Tionghoa, dan kekerasan yang tak terhitung jumlahnya. Setiap kali mendengar berita itu, hatiku tercekat. Arya, suamiku, sedang berada di sana, di tengah pusaran amarah yang tak terkendali.
Akhirnya, sekitar tengah malam, suara langkah Arya terdengar dari depan pintu. Aku segera berlari ke arahnya, dan dia masuk dengan wajah letih, tubuhnya dipenuhi keringat dan debu. Tapi dia masih tersenyum, seperti selalu, meskipun kali ini senyum itu terasa lebih berat.
"Bagaimana situasinya?" tanyaku sambil memeluknya erat.
Arya duduk di kursi, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Kacau, Rose. Banyak toko yang dijarah, rumah-rumah dibakar. Orang-orang ketakutan. Ini lebih buruk dari yang kita duga."
Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya yang kali ini tampak lebih berat dari biasanya. Arya selalu berusaha menjaga ketenangannya di hadapanku, tapi kali ini aku bisa merasakan ada sesuatu yang berubah.
"Dan mereka?" tanyaku, merujuk pada warga keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran utama kerusuhan ini.
Arya mengangguk pelan. "Mereka tidak punya tempat aman. Banyak dari mereka melarikan diri, tapi tidak semua bisa. Beberapa orang yang kubicarai merasa sangat takut. Mereka tidak tahu ke mana harus pergi."
Hatiku perih mendengar ceritanya. Bayangan sahabatku, Yulia, kembali menghantui pikiran. Aku teringat saat kecil kami bermain bersama, tanpa peduli ras atau perbedaan. Kini, warga seperti dia yang dulu hidup damai berdampingan harus menghadapi kebencian yang membara.
Arya bangkit dan berjalan ke jendela, menatap keluar. "Mereka butuh suara, Rose. Butuh orang yang bisa menceritakan kebenaran, bukan hanya amarah."
Aku mendekatinya, menggenggam tangannya erat. "Dan kamu akan menjadi suara itu?"
Dia mengangguk. "Aku harus. Ini adalah tugas kita sebagai manusia, untuk tidak tinggal diam."
Di malam yang hening itu, dengan bara api dari kejauhan dan ketakutan yang terus menghantui, aku tahu Arya tidak bisa dihentikan. Pekerjaannya sebagai reporter bukan hanya untuk mencari berita, tetapi juga untuk membawa suara mereka yang tertindas dan terlupakan. Dan meskipun aku selalu khawatir akan keselamatannya, aku tahu bahwa Arya melakukan apa yang benar. Dia ada di luar sana untuk menceritakan cerita-cerita yang mungkin tidak pernah didengar oleh dunia.