Perempuan, Tragedi, dan Air Mata

Astuti Parengkuh
Chapter #16

Misteri Toko Sepatu

Beberapa minggu setelah kebakaran tragis di toko sepatu itu, suasana di lingkungan sekitar mulai berubah menjadi lebih mencekam, namun bukan hanya karena kekacauan yang tampak di permukaan. Ada cerita-cerita aneh yang mulai beredar di antara warga. Desas-desus mulai berkembang, seolah-olah tragedi yang terjadi di toko sepatu itu tidak hanya meninggalkan jejak kematian dan kehancuran, tetapi juga sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tak terlihat namun terasa.

 Orang-orang di sekitar mulai bercerita bahwa jika ada yang menelepon nomor telepon toko sepatu itu, yang dulunya sibuk menerima pesanan dan pelanggan, mereka tidak mendengar suara mesin penjawab biasa atau nada sibuk. Sebaliknya, beberapa orang mengaku mendengar suara jerita, suara orang-orang yang terperangkap dalam kebakaran. Jeritan itu, kata mereka, terdengar putus asa, seperti suara orang yang meminta pertolongan di tengah kobaran api. Meskipun toko itu sudah lama hangus dan tidak ada yang tersisa kecuali puing-puing, nomor teleponnya seolah masih terhubung dengan sesuatu yang lebih menakutkan.

 Ketika pertama kali kudengar cerita ini, aku hanya menganggapnya sebagai bualan orang yang masih trauma oleh kejadian itu. Toh, wajar saja jika tragedi besar seperti ini memunculkan berbagai macam kisah misterius. Namun, semakin banyak orang yang berbicara tentang hal yang sama, semakin sulit untuk mengabaikannya. Seorang tetangga bahkan bersumpah dia mendengar suara orang menangis ketika mencoba menelepon nomor toko itu, dan seorang teman Arya yang bekerja di surat kabar mengaku mendengar suara-suara aneh ketika dia mencoba memverifikasi cerita tersebut untuk liputannya.

 "Arya, apa menurutmu ini benar?" tanyaku suatu malam, ketika cerita itu semakin ramai dibicarakan. "Suara-suara yang mereka dengar di telepon itu... bisakah itu benar-benar terjadi?"

 Arya tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu, Rose. Secara logika, mungkin tidak masuk akal. Tapi kadang, trauma dan kejadian-kejadian tragis meninggalkan jejak yang lebih dalam dari yang kita kira."

 Aku mengangguk, meski perasaan tidak nyaman tetap menggantung di hatiku. Bagaimanapun, cerita-cerita ini terus menghantui pikiranku, terutama karena toko sepatu itu pernah menjadi bagian dari kehidupan kami, tempat yang ramai dan penuh canda tawa. Kini, yang tersisa hanyalah abu dan kisah-kisah aneh yang tidak bisa dijelaskan.

 Beberapa orang mengatakan bahwa mereka mencoba menghubungi nomor toko itu karena penasaran, ingin membuktikan apakah rumor itu benar. Dan mereka yang berani, mereka yang mendengar suara-suara itu, pulang dengan wajah pucat, tak ingin bicara lebih lanjut tentang apa yang mereka alami. Jeritan itu, menurut mereka, terdengar begitu nyata, begitu menyakitkan, seolah-olah suara para korban yang tak pernah sempat melarikan diri dari kobaran api masih terjebak di sana, meminta pertolongan.

 Aku mulai merasa ngeri setiap kali melewati reruntuhan toko sepatu itu. Meski siang hari, ada perasaan bahwa tempat itu masih menyimpan sesuatu yang tidak bisa dihapus begitu saja. Setiap malam, aku terjaga, mendengarkan bunyi-bunyi dari luar, meski tahu itu mungkin hanya imajinasiku sendiri. Tapi cerita-cerita tentang suara-suara dari telepon itu membuatku tidak bisa benar-benar tenang.

 Kota ini memang sudah lama tenggelam dalam kekacauan dan tragedi, tapi yang terjadi di toko sepatu itu, dan suara-suara yang muncul setelahnya, menjadi pengingat bahwa tidak semua luka bisa sembuh dengan cepat. Ada luka-luka yang tetap tinggal, menyusup dalam, tidak hanya di hati, tetapi juga di udara di sekitar. Dan suara jeritan itu, entah nyata atau tidak, seolah menjadi simbol dari kesedihan yang belum tuntas, dari nyawa-nyawa yang mungkin masih mencari jalan pulang di tengah-tengah kehancuran.

 Cerita tentang tragedi di toko sepatu yang terbakar menyebar dengan cepat, bukan hanya di kota kami, tetapi juga sampai ke pelosok negeri. Orang-orang di seluruh Indonesia mendengar kisahnya, namun yang paling menakutkan bukan hanya soal api yang melalap bangunan atau nyawa yang hilang. Ada sesuatu yang lebih menyeramkan tampil sebagai cerita horor yang perlahan berkembang di tengah-tengah masyarakat, mengubah tragedi itu menjadi legenda kelam yang sulit diabaikan.

 Di mana pun, di warung kopi, di sekolah-sekolah, di terminal, orang-orang mulai berbicara tentang toko sepatu itu dengan nada bisik-bisik. Bukan hanya soal api, tetapi tentang apa yang terjadi setelahnya. Isu tentang suara-suara aneh yang terdengar dari reruntuhan toko mulai mengemuka. Ada yang bercerita bahwa setiap kali malam tiba, dari bangunan yang hancur itu sering terdengar jeritan, suara orang-orang yang tewas terbakar, seakan-akan roh mereka belum sepenuhnya pergi.

 Bukan hanya itu, telepon toko yang konon masih aktif meski sudah hancur oleh api, juga menjadi bagian dari kisah menyeramkan ini. Beberapa orang bersumpah mereka menelepon nomor toko itu hanya untuk mendengar suara jeritan dan tangisan, seperti panggilan yang tak pernah terjawab dari orang-orang yang terjebak di dalam kobaran api. Meskipun nomor telepon itu seharusnya tidak aktif lagi, ada yang mengatakan bahwa jika seseorang mencoba menghubungi pada jam-jam tertentu, terutama saat malam tiba, mereka akan mendengar suara-suara mencekam.

Lihat selengkapnya