Selain pabrik dan gudang kasur, sebuah toko sepeda yang letaknya tak jauh dari rumah kami juga menjadi sasaran penjarahan. Toko itu milik seorang perempuan tua yang selalu ramah saat aku lewat di depannya. Aku sering melihatnya mengelap sepeda-sepeda yang dipajang di etalase, menata ulang barang-barangnya dengan hati-hati. Setiap kali anak-anak lewat, dia sering tersenyum dan melambai, seolah keberadaan toko kecil itu adalah bagian dari denyut kehidupan sehari-hari di lingkungan kami.
Namun, hari itu semuanya berubah. Massa yang marah dan kehilangan kendali mengarah ke toko sepeda itu, memecahkan kaca-kaca etalase dan membawa pergi sepeda-sepeda yang masih terpajang. Suara kaca pecah terdengar jelas, diikuti oleh gemuruh langkah-langkah tergesa dari orang-orang yang masuk ke dalam dan keluar membawa apa pun yang bisa mereka ambil.
Aku merasa pilu melihat toko itu hancur. Toko yang dulunya penuh dengan keceriaan, kini hanya meninggalkan puing-puing. Sepeda-sepeda yang dulu dipajang dengan rapi kini tak bersisa, dibawa pergi oleh tangan-tangan yang penuh amarah. Bayangan peremouan tua pemilik toko itu menghantuiku. Di mana dia sekarang? Apa yang akan terjadi padanya setelah semua yang dia bangun selama bertahun-tahun hancur dalam satu malam?
Arya, yang berdiri di sampingku, ikut mengamati kerusuhan itu dari kejauhan. “Toko sepeda itu... aku pernah berbincang dengan pemiliknya,” katanya pelan. “Dia bercerita tentang bagaimana dia membuka toko itu setelah bertahun-tahun bekerja keras. Dia tidak pernah menyangka ini akan terjadi.”
Aku menatap Arya dengan sedih. “Bagaimana dia sekarang? Apa kamu tahu di mana dia?”
Arya menggeleng pelan. “Aku belum sempat bertemu dengannya lagi. Aku hanya berharap dia aman.”
Keprihatinan kembali melanda hatiku. Betapa banyak orang yang tak berdosa menjadi korban dari kekacauan ini. Bukan hanya toko-toko yang rusak, tapi hidup dan harapan yang dibangun bertahun-tahun kini musnah begitu saja. Toko sepeda itu adalah salah satu bagian kecil dari kehidupan di kota ini, dan kehilangannya terasa seperti kehilangan bagian dari jiwa kami sendiri.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya bagi perempuan tua itu, melihat usahanya yang dia bangun dengan susah payah selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa berdiri diam, merasa tak berdaya di tengah kekacauan yang mengamuk.
Toko sepeda yang terletak di pinggir jalan raya itu amat melegenda. Tidak hanya aku dan keluargaku menjadi pelanggan di sana tetapi hampir sebagian besar penduduk di sini membeli sepeda di toko itu. Sebab selain menawarkan harga yang berbeda dengan potongan-potongan, biasanya garansi yang diberikan juga dalam tempo yang relatif panjang. Si Emak, perempuan tua pemilik toko tidak ingin mengambil untung banyak kepada tetangganya sebab menurutnya lebih baik untuk sedikit tetapi tetangganya merasa senang.
Aku masih ingat hari itu dengan jelas. Langit sore yang kelam dan udara yang dipenuhi dengan ketegangan terasa begitu berat. Dari jendela rumah, aku melihat orang-orang kampung yang biasanya begitu ramah dan damai tiba-tiba berubah. Mereka berlari menuju gudang yang sudah lama menjadi tempat penyimpanan barang-barang mebeler. Namun, hari itu, mereka datang bukan untuk bekerja atau berbelanja. Mereka datang dengan amarah yang tidak kumengerti.
Di antara kerumunan itu, aku mengenali beberapa wajah, tetangga-tetangga yang biasanya tersenyum setiap pagi, kini tampak terbakar oleh provokasi dan ketakutan. Mereka meneriakkan kata-kata yang tidak pernah kusangka akan keluar dari mulut mereka, dan beberapa dari mereka mulai menjarah barang-barang dari dalam toko dan gudang itu. Barang-barang dilempar keluar tanpa berpikir, diambil tanpa pertimbangan, seolah-olah mereka bukan lagi diri mereka sendiri.
Aku berdiri di tempatku, menangis dalam diam. Air mata mengalir tanpa henti di pipiku. Aku tidak paham mengapa semua ini terjadi. Orang-orang yang biasanya bekerja keras dan hidup berdampingan kini berubah menjadi sosok yang asing. Di dalam hatiku, aku tahu bahwa mereka tidak benar-benar ingin melakukan ini. Mereka hanyut dalam arus kekacauan, terbawa oleh hasutan dan rasa putus asa yang begitu besar.
Mereka mungkin tidak sadar akan apa yang mereka lakukan, atau mungkin mereka merasa bahwa di tengah kerusuhan ini, kesempatan itu harus diambil. Namun, saat aku melihat mereka berlarian dengan barang-barang di tangan, aku bisa melihat ketakutan di mata mereka. Seolah-olah jauh di dalam hati mereka, mereka tahu bahwa ini salah, bahwa tindakan mereka akan meninggalkan luka yang lebih dalam daripada apapun yang bisa mereka curi.
Tangisku semakin menjadi-jadi ketika melihat salah satu dari mereka tersandung di pintu gudang, barang-barang yang baru saja dijarahnya jatuh ke tanah. Dia memandang sekeliling dengan tatapan kosong, seperti tersadar sesaat, tapi terlalu terlambat untuk berbalik. Kerusuhan telah mengubah orang-orang ini, telah membuat mereka melakukan hal-hal yang tak mereka pahami sepenuhnya.