Setelah peristiwa Tragedi Mei 1998, banyak warga keturunan Tionghoa di Indonesia merasa ketakutan dan terancam. Mereka tidak hanya menjadi target penjarahan dan kekerasan fisik, tetapi juga menjadi korban kebencian rasial yang meledak selama kerusuhan. Ketidakadilan yang mereka alami, serta rasa tidak aman yang begitu mendalam, mendorong banyak dari mereka untuk mengambil keputusan yang sangat sulit: meninggalkan tanah air mereka.
Eksodus besar-besaran terjadi, di mana ribuan keluarga keturunan Tionghoa memilih untuk mencari perlindungan dan memulai hidup baru di negara lain. Negara-negara seperti Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada menjadi tujuan utama, tempat di mana mereka merasa dapat menemukan keamanan dan stabilitas yang tak lagi mereka rasakan di Indonesia. Bagi mereka, keputusan untuk pindah bukan hanya tentang mencari perlindungan fisik, tetapi juga melepaskan diri dari trauma psikologis yang ditinggalkan oleh kekerasan.
Namun, di balik keputusan untuk beremigrasi, ada rasa duka yang dalam. Banyak dari mereka telah menghabiskan seluruh hidup mereka di Indonesia, membangun keluarga, usaha, dan komunitas. Mereka adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia, namun perasaan ketidakadilan dan pengkhianatan membuat mereka merasa seolah-olah mereka tak lagi diterima. Keputusan untuk pindah kewarganegaraan atau mencari suaka adalah keputusan berat, karena mereka harus meninggalkan rumah, teman, dan tanah air yang telah mereka kenal sepanjang hidup.
Bagi generasi yang lebih tua, perpindahan ini sangat menyakitkan, karena mereka telah membangun hidup dari nol di Indonesia. Mereka yang lebih muda mungkin lebih mudah beradaptasi, tetapi bagi orang-orang tua, ini adalah perjalanan yang penuh dengan kehilangan, baik secara fisik maupun emosional.
Selain itu, pindah kewarganegaraan bukanlah solusi yang mudah. Meskipun mereka mungkin menemukan kehidupan yang lebih aman di negara baru, ada kerinduan yang mendalam terhadap rumah yang telah mereka tinggalkan. Rasa identitas yang tercabik-cabik, antara budaya Tionghoa yang mereka warisi dan akar mereka sebagai orang Indonesia, terus menghantui banyak dari mereka.
Eksodus ini juga membawa dampak bagi Indonesia sendiri. Kehilangan sebagian besar warga keturunan Tionghoa, yang selama ini berperan besar dalam perekonomian dan kebudayaan, menjadi kehilangan besar bagi masyarakat secara keseluruhan. Banyak dari mereka adalah pelaku usaha, profesional, dan anggota komunitas yang aktif, yang dengan kepindahan mereka, meninggalkan kekosongan dalam banyak aspek kehidupan di Indonesia.
Tragedi Mei 1998 tidak hanya menorehkan luka fisik pada korban, tetapi juga menciptakan jarak yang mendalam antara warga keturunan Tionghoa dan tanah air yang seharusnya mereka sebut sebagai rumah. Trauma itu akan terus membekas, diingat melalui kisah-kisah eksodus, perpindahan kewarganegaraan, dan kehilangan yang tak terucapkan oleh mereka yang harus pergi. Cerita-cerita tentang tragedi Mei selalu menghias di setiap sampul majalah maupun koran di setiap ulang tahunnya.